Sunday, October 21, 2012

ACYS 5: My Pregnant Sister




“Hhh… Kakk…”
“Oohh… V… Vann… Mmmhh”
“Ohh… Oohhh… Kaakk… Kak…”

Kuremas dada adikku yang super besar. Lama sekali rasanya aku tidak merasakan dadanya yang empuk dan padat itu. Vany mengecup keningku. Nafasnya tak beraturan.

“Kakk… Kak… Pelan pelan… mmmhhh….”
“Hhh… Vann… Enak… banget… sempit banget….”
“Kakk… Mmmm… Tapi… Tapi ntar bayinya… sakit… Mmmhhh,” kata Vany sambil mengelus perutnya yang buncit.

* * *
Singapore, 20 September 2008

Aku terbangun. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Nafasku terengah-engah, jantungku berdegup sangat kencang. Kulirik jam di mejaku, pukul 3 dini hari. Aku memejamkan mata, berusaha mengatur nafasku. Kurebahkan diriku perlahan-lahan.

Mimpi itu lagi. Ini sudah kali ketiga dalam seminggu ini aku mimpi tentang Vany yang hamil. Entah kenapa. Dan mimpinya selalu sama; selalu aku sedang ML dengan dia, dan dia berkata seperti itu.

Kujangkau handphoneku dari meja kecil di sebelah ranjang. Sinar layar HP menyilaukan mataku di kamarku yang gelap gulita. Wallpapernya menampilkan fotoku dengan Vany, adikku. Kami sedang tertawa cerah di foto itu. Aku tersenyum ganjil. Bayangan akan mimpiku masih mengganggku pikiranku. Aku tahu hubunganku dengannya sudah sangat jauh, tapi kurasa tidak sejauh itu.

Ya. Hubunganku dengan Vany sebenarnya memang sudah melebihi hubungan kakak-adik yang, secara moral, pantas (baca episode 1-4). Sejak bulan Juni yang lalu, kami bertingkah seperti sepasang kekasih, dan saling membuka dan mengakui nafsu yang sudah dipendam sejak lama (bagiku, sejak dia kelas 6 SD). Berawal dari sentuhan-sentuhan, hubungan kami semakin menjurus ke arah seksual, dan pada pertengahan Juli lalu akhirnya Vany melepas keperawanannya di tanganku, kakaknya sendiri. Kami sungguh mengerti bahwa hubungan ini terlarang, tapi sepertinya kami sudah melangkah terlalu jauh untuk dapat kembali lagi.

Tapi aku tak pernah bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau adikku ini hamil karena kakaknya sendiri. Walaupun aku tahu kenyataan bahwa setiap kali kami ML, hampir selalu aku mengeluarkan spermaku ke dalam rahimnya, dan aku sungguh tahu bahwa resiko kehamilannya sangat tinggi, aku masih tetap tak dapat membayangkannya.

Aku menghela nafas, menoleh ke sisiku. Tubuh bugil Cherry, sahabatku, meringkuk di balik selimut, masih terlelap. Kupandangi wajah cantik sahabatku itu. Sepertinya sudah saatnya aku menceritakan ini padanya, sekedar minta masukan.

* * *

“Hmmm... Kalo nurut gue sih jangan dianggep terlalu serius.”
“Tapi masa seminggu tiga kali gue mimpi itu...”
“Mm... Mungkin lu kangen aja kali ma dia...”
“Ya tapi masa kangen mimpinya dia hamil?”

Aku sedang berdebat dengan Cherry soal mimpiku semalam sepulang kuliah. Kami berada di halte, sedang menunggu bus yang akan membawa kami pulang ke tempat kos. Singapura panas sekali hari itu. Sinar matahari sore serasa menyengat kulit kami. Cherry mengeluarkan kaca mata hitam.

“... Lagian adek sendiri di MLin sih...” katanya perlahan sambil mengenakan kaca mata hitamnya, setengah bercanda.
“Yee...”

Bus kami datang. Berdesakan, aku menggandeng tangan Cherry agar tidak terpisah, dan kami pun masuk ke dalam bus. Penuh sesak, kami terpaksa berdiri berimpitan di dalam bus. Aku berdiri di belakang sahabatku.

“Tapi bener loh, Dit...” lanjut Cherry. “Mungkin sebagian diri lu ngerasa berdosa, dan jadi agak ada takut bahwa hal itu mungkin terjadi.”
“Iya sih...” Aku pun menyadari hal itu. Mungkin memang itu yang terjadi.
“Udah lah gausah dipikirin lagi...” katanya. Cherry perlahan menekankan pantatnya yang luar biasa montok ke arah selangkanganku. Cherry memakai hot pants yang super pendek siang itu, sementara pantatnya memang jauh lebih besar dari rata-rata, sehingga sebagian bongkahan pantatnya yang bulat agak menyembul keluar dari bawah celananya. Aku meremas pantatnya sambil melotot memperingatkan. Sahabatku ini nyengir nakal... Dasar...
“Tapi kalo emang ternyata bener dia hamil gimana?” bisikku di telinganya. Aku harus berhati-hati untuk tidak berbicara terlalu keras karena Bahasa Indonesia sedikit banyak mirip Bahasa Melayu, yang masih dipahami orang-orang Singapura. Masalah yang aku perbincangkan ini cukup sensitif.
“... Gue bahkan baru mau nanya itu ke lu... Kalo bener gimana?” Cherry bertanya balik. Aku terdiam. Aku sendiri tak tahu harus bagaimana.
“Ya paling dibawa kesini lah si Vany...” jawabku setelah beberapa lama.
“Ya... Mungkin gitu...” Cherry mengiyakan, setengah tercenung. Ia menggerakkan pantatnya yang menempel di selangkanganku naik-turun.
“Heh! Cher! Di bus ini...”
“Alaa... Lu udah ngaceng gitu...” katanya jahil.
“Gue udah ngaceng dari tadi sejak ngeliat lu... Tapi tetep aja! Aduh tunggu bentar napa sih bentar lagi juga sampe rumah!” kataku tak sabar. Sulit sekali menahan nafsu jika selangkanganku di gesek-gesek pantat semontok dan sebesar pantat Cherry.
“... Mungkin bentar lagi udah ga bisa sesering ini loh lu anal gw...” katanya perlahan. “... kalo Vany dateng?”
“Ah nggak lah...” jawabku sambil mendorong pantat Cherry menjauhi selangkanganku.

* * *

“OOHH!! Aarrghh.. Mmmhhh... Harder... Hardeerr hunny.. Nnhh..”
“Oohh... Cherryy... Chherr... Nnhhh...”

Aku menampar pantat Cherry dan meremasnya kuat-kuat. Sungguh belum pernah ada pantat cewek lain yang kukenal yang sebulat dan semontok pantat Cherry; rasanya sungguh kenyal dan padat! Cherry menggeletar, meliuk di atas tubuhku sambil bergerak naik-turun dengan cepat. Penisku menghujam anusnya berkali-kali dengan kuat. Keringat membasahi tubuh kami berdua.

“Nnnggghh!!! Nnggghhhh... Addiiitt... Mmmhhh...” lenguh Cherry keenakan. Ia menggigit bibir bawahnya yang tipis. Cherry sudah orgasme tiga kali sore itu, tapi tetap saja tak berkurang tenaganya.
“Cherrr... Cherryy... Asstagah enak bangettt...”

Aku merasakan bongkahan pantat Cherry yang super montok menghantam-hantam pahaku. Enak sekali rasanya. Anusnya ketat sekali menjepit penisku, ditambah dengan empuknya pantat Cherry yang membungkus penisku. Aku tak sedetik pun melepaskan cengkeraman tanganku dari pantatnya.

“Cherr.. Cherrr gue mau kkuarr... Nnnghhh...”
“Aaahh... Aaahhh... Lagi? Mmmmnnhh... Tahann dulu Hunny... Nnnhh...” desahnya. Aku sudah keluar sekali dalam vaginanya dan sekali kali dalam anusnya.

Ini gila. Aku sudah tidak kuat lagi.

“Mmmmhhh... Bodooo.. Bodo ahh.. Gue mau kuarin ajaa... Mmmmmhhh... Ga kuat Cherrr...”
“Tungguu... Tunggu barengannn.. Mmmmhhh gue juga udah mau kuarrr... Aahhh... Ngghhh!!! NNHHH!!!”
“Ga kuatt.. Ga kuaattt!!! MMMHHH!!!”

Aku menyemprotkan spermaku berkali-kali ke dalam anusnya, sementara Cherry squirting kuat-kuat, membasahi pinggang dan perutku. Aku mencabut penisku yang sudah ngilu dari anusnya, dan segera aku merasakan cairan putih mengalir deras keluar dari anusnya, seolah sumbatnya baru terlepas.
Cherry roboh ke atasku, terengah-engah, mengecup bibirku sambil mengelus dadaku. Aku memejamkan mata. Dahsyat sekali.

“Hhh... Lu gila Cher...” kataku terengah. Cherry tertawa lemas.
“Haha... Abisnya bentar lagi kan ga bisa seheboh ini lagi...”
“Hus... Yakin banget sih lu...”
Cherry hanya mendengus tertawa. Kami tak memiliki energi lagi untuk membahas hal ini.

* * *

Cherry begitu dahsyat sore hari itu ML dengaku, hingga aku sudah hampir lupa sama sekali akan mimpiku tentang Vany ketika tiba-tiba aku dibangunkan oleh dering handphoneku. Terkejut, aku terjaga seketika. Kamarku gelap, remang-remang diterangi sinar matahari yang sudah sangat redup. Langit berwarna keunguan. Kulirik jam dinding, pukul 7 malam Singapura. Rupanya kami tertidur sekitar sejam. Cherry masih tertidur, tertelungkup di atasku. Perlahan, kupindahkan tubuh bugil sahabatku ke atas tempat tidur, kuselimuti dengan selimutku, dan kuambil handphoneku.

Ada sebuah sms baru masuk... Dari Vany, adikku.

Kak, Skype skg bole? Aku prlu ngmg

Singkat. Terlalu singkat. Aku menangkap urgensi dalam nada pesan singkat adikku. Mencurigakan. Ah, atau hanya pikiranku saja? Tapi jantungku berdegup sangat kencang. Aku tak tahu kenapa.

Kunyalakan Skype melalui laptopku. Begitu melihatku online, Vany segera memanggilku. Koneksi tersambung setelah beberapa saat. Layar komputer menampilkan wajah adikku, Vany, tersenyum manis seperti biasa, malah cenderung nyengir.

Aku tak dapat mengartikan ekspresi wajahnya. Aku menangkap kegembiraan yang sangat meluap-luap dari dalam diri adikku ini, tapi aku juga menangkap ketakutan dan kekuatiran dari sorot matanya.

“Hai, Kak...” katanya sambil melambaikan tangan.
“Hai... Ada apa?” tanyaku, langsung pada sasaran. Setelah bertanya aku baru sadar nadaku agak terlalu tegas.
“Hm? Eh...” kata Vany gelagapan. Rupanya tak menyangka akan langsung ditanya. “Eh... Aduh harus mulai dari mana ya...”

Aku diam dan menunggu. Jantungku berdebar sangat kencang, dadaku sakit rasanya. Vany memejamkan mata, menggeleng pelan. Sambil menghela napas panjang, ia membuka mulutnya yang mungil.

“Aku hamil, Kak...”

Entah bagaimana, aku tidak kaget sama sekali. Mungkin karena telah dipersiapkan dengan mimpi-mimpiku itu. Sungguh, aku tidak kaget sama sekali. Melihat aku terdiam, Vany melanjutkan.

“Aku udah ga dapet 2 bulan sejak awal Juli kemaren. Terus sejak seminggu yang lalu tiap pagi mulai muntah-muntah... Jadi aku periksa pake alat cek kehamilan... Hasilnya positif,” jelas Vany.
“Jadi... Aku bilang ke mami, terus 3 hari yang lalu aku dianter mami ke Tante Rina, dicek. Hari ini hasilnya keluar... Bener positif aku hamil... Udah 11 minggu... Jadi hampir 3 bulan,” lanjutnya. Tante Rina adalah dokter keluarga kami, dulu beliau lah yang membantu ibuku melahirkan aku dan Vany.

Aku terdiam. Tak tahu harus bertanya apa. Aku tahu itu pasti anakku, tapi aku tetap bertanya.

“... Itu... Anak...?”
“Anak Kakak...”
“Pasti?”
“Ya. Udah di cek tadi sama DNA Kakak. Si tante masih punya ternyata sample nya,” jelas Vany panjang lebar, dengan tenang, cenderung riang. “Lagian aku ga pernah ML sama cowo laen.”
“Jadi... Mami uda tau?” tanyaku.
Pipi Vany merona merah. Sambil tersenyum ia menjawab, “Mami uda tau sejak kita ML, Kak...”

Kali ini aku terkejut.

“Hah? Koq bisa??”
“Mami... Tadi mami bilang sama aku, mami pertama kali taunya tuh waktu itu pernah kebangun suatu malem sekitar pertengahan Juli abis pulang dari Semarang,” kata Vany. Pertengahan Juli, aku berpikir, berarti itu malam-malam terakhir aku dan Vany ML sebelum vakum selama hampir 2 minggu dan ML lagi di malam terakhirku di Jakarta (Baca episode 4).
“Terus?”
“Terus mami pas kuar kamar, mau turun minum di bawah, lewat kamar kita. Dia denger suaraku desah-desah gitu,” kata Vany. “Pertamanya mikir cuma Kakak lagi nonton film bokep, tapi terus dia nyadar koq suaranya kedengerannya dari kamarku. Jadi terus dia deketin pintunya.”
“Terus Mami coba buka pintu, ternyata ga kekunci. Ya terus mami ngeliat kita lagi ML lah... Katanya mami ngintip sampe kita kelar....” lanjut Vany sambil tertawa kecil. “... Terus katanya mami juga pernah masuk kamarku pas kita lagi mandi bareng sore-sore... Jadi udah beberapa kali tau lah...”

Aku terdiam, tak percaya. Bagaimana mungkin ibuku telah mengetahui hubungan terlarang kedua anaknya selama ini dan tak menghentikannya?

“Koq... Koq ga dihentiin ya sama mami...” tanyaku bingung.
Vany mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. “Nggak tau... Aku tadi juga tanya gitu...”
“Terus mami bilang apa?”
“Katanya... Uda terlanjur mau diapain lagi...”

Aku mengangguk. Memang seperti itulah ibuku. Ia tak pernah berusaha mengubah bubur menjadi nasi. Dalam hati aku sangat berterima kasih atas pemahaman ibuku.

“Jadi Papi-Mami udah tau...”
“Belum, Papi belum,” ujar Vany. Kali ini suaranya agak bergetar. “... Mungkin malem ini kita kasi tau papi.”

Aku mengerti ketakutan Vany akan ayahku. Pasti beliau akan murka besar mengetahui anak gadisnya dihamili oleh anak sulungnya sendiri. Aku pun ngeri. Pikiranku campur aduk sekarang.

“Van... Bagaimana pun papi harus tau,” kataku. Vany mengangguk tegas.
“Ya. Aku sih udah siap nanggung semua resikonya, Kak...”

Tertegun, aku terdiam sejenak. Tak kukira Vany setegar dan memiliki hati sekeras itu. Aku tersenyum, untuk pertama kalinya sejak mendengar kabar luar biasa ini.

“... Kamu hebat, Van...” kataku lembut. Vany nyengir.
“Kak... Kakak bakal tanggung jawab ‘kan?” Vany bertanya tanpa ragu.
“... Pasti,” jawabku. Entah kenapa keyakinan mengalir kuat di hatiku. Vany tersenyum lega. “Kita tanggung sama-sama. Kita yang berani berbuat koq, ya harus kita yang nanggung akibatnya.”
“Ya,” jawab Vany.

Kami terdiam, tak tahu harus ngomong apa.

“Van...” kataku akhirnya. Masih ada satu pertanyaan yang mengganjal di hatiku.
“Ya?”
“... Koq kamu bisa setegar dan seceria itu? Kamu... Kamu bakal kehilangan sebagian masa ABGmu,” tanyaku. Vany terdiam sejenak.
“... Aku...” katanya, menunduk, melihat ke arah perutnya yang tak terlihat berbeda. ”... Aku seneng bisa hamil anak Kakak... Seneng banget.”

* * *

Semuanya berjalan sangat cepat. Ayahku, di luar dugaan, tidak marah sama sekali saat mengetahui perbuatan kedua anaknya. Beliau hanya menyatakan kekecewaannya yang sangat besar, dan justru hal itulah yang membuat aku dan Vany merasa sangat berdosa. Tapi saat semua itu berlalu, kedua orangtuaku menjadi sangat antusias menyambut kehadiran seorang anggota keluarga baru, cucu pertama mereka.

Setelah negosiasi dengan pihak sekolah, Vany diputuskan untuk mengikuti sekolah hingga akhir semester pertama kelas 3 SMPnya, kemudian pindah ke Singapore untuk menutupi masalah ini. Setelah melahirkan, Vany boleh melanjutkan sekolah, tapi harus mengulang dari awal kelas 3 SMP. Vany setuju akan hal ini.

Hal lain yang perlu dihadapi Vany tentu saja soal teman-temannya. Seperti sudah diduga, sebagian besar teman-teman Vany di sekolah segera menyebarkan berita kacau ini ke seantero sekolah, dan mulailah orang-orang memandang Vany dengan tatapan sinis. Aku bersyukur karena memiliki adik yang sangat keras hati dan teguh, di samping juga ia memiliki satu grup sahabatnya yang tetap menyayangi, melindungi, dan terutama, menerimanya tanpa pandang bulu.

Vany diharuskan mengikuti terapi khusus secara intensif oleh dokter untuk memperkecil kemungkinan cacat pada bayi kami, mengingat anak hasil hubungan inses memiliki kemungkinan cacat, baik mental maupun fisik, yang besar. Untungnya, jika terapi dilakukan sejak usia kehamilan masih sangat awal, tingkat keberhasilannya menjadi sangat besar.

Dan tak terasa, bulan November sudah mendekati akhirnya. Perut Vany semakin membesar. Kuliahku berjalan sangat lancar, dan aku akan pulang ke Jakarta pada akhir bulan ini. Aku sudah tak sabar untuk bertemu dengan adikku satu-satunya. Webcam dan foto yang dikirimkan padaku tak cukup memuaskan kerinduanku untuk bertemu secara fisik dengan Vany, dan calon anakku yang ada di dalam perutnya... Dan tentu saja aku ingin merasakan bersetubuh dengan cewek hamil

* * *

Singapore, 29 November 2008, 10.15pm

“Hahahahaha... Ih Kakak parah!! Hahahaha...”
“Loh tapi bener kan?? Pasti jadi lebih berat! Kan ditindih 2 orang!”

Malam itu aku sedang bercanda dengan Vany melalui webcam. Ini malam terakhirku di Singapore untuk semester ini. Aku akan pulang ke Indonesia besok siang. Barang-barangku sudah terpak rapi di dalam koper.

“Eh, Kak, aku udah musti tidur... Dokternya bilang jam 10 batas maksimal sebetulnya,” kata Vany sambil mengelus perutnya yang sudah jelas terlihat buncit. Janinnya bertumbuh sehat dalam kandungan Vany yang sudah hampir mencapai bulan ke 5.
“Oiya.. Udah 10.15 malah sekarang... Yaudah kamu istirahat aja...” kataku sambil tersenyum.
“Sampe ketemu besok... Jangan ada yang ketinggalan!” ujar Vany mengingatkan. Sudah persis ibuku.
“Hahaha kamu tuh uda persis mami tau nggak ngomonginnya...”
“Iiih... Apa coba...” ujarnya. Aku tertawa lagi.
“Kangen banget sama kamu, Yang...” kataku lembut. Vany nyengir.
“Aku juga kangen sama Kakak...” bisiknya. “... Udah ga tahan.”

Aku tertawa terbahak-bahak.

“Hahahahaha akhirnya kamu juga yang nggak tahan!”
“Halah Kakak pasti uda lebih ga tahan lagi kan??” tebaknya tepat.
“Pengen nyoba ML sama cewe hamil...” kataku jujur. Muka Vany merona.
“Dasar...” katanya pelan. Tapi ia tetap nyengir malu. “Aku punya kejutan buat Kakak soal itu...”
“Apa tuh?” tanyaku penasaran.
“Ada lah... Pasti Kakak suka... Tunggu aja besok,” jawabnya sambil nyengir nakal.
“Hahaha kamu tuh... Yaudah... Nitez, Van...”
“Nite, Kak... Nggak bilang nitez sama baby?” katanya sambil mengedik ke arah perutnya.
“Oiya... Nite Nite, Baby!” ujarku.
Vany tertawa, melambaikan tangan, melemparkan kecupan, dan mematikan webcam.


* * *

Terminal 2, Bandara Soekarno-Hatta Jakarta,
30 November 2008, 18.05

Aku berjalan, setengah berlari, ke arah tempat pengambilan bagasi. Jas hitamku berkibar diterpa angin. Kebetulan aku mendapat kursi tempat duduk terdepan di pesawatku pulang, sehingga imigrasi pun kulalui dengan cepat (tidak perlu ngantre).

Sekitar sepuluh menit kemudian, sebuah koper hitam besar bergaris cokelat muda muncul di conveyor belt. Segera kuambil koperku, kuletakkan di atas troli bersama ranselku, dan mulai berjalan, sedikit tergesa, ke arah luar. Hatiku berdebar-debar mencari wajah yang kukenal.

Dan di tengah kerumunan orang yang menunggu kerabat, teman, atau kenalan yang datang hari itu dari Singapura, aku melihat wajah ibuku; tersenyum cerah melihat anak sulungnya, melambai bersemangat. Ayahku di belakangnya, tinggi menjulang, nyengir melihatku. Di sebelahnya... Jantungku seolah berhenti berdetak.

Vany berdiri di samping ibuku, nyengir sangat lebar. Rambutnya yang dulu sangat pendek-kaku sekarang panjang terurai sebahu. Pipinya yang tirus sekarang menjadi agak chubby, tapi justru membuat wajahnya menjadi cantik dan anggun sekali; hanya sedikit tersisa kesan kekanak-kanakannya. Adikku mengenakan t-shirt hijau muda, ditutupi cardigan warna broken white, dan celana putih selutut. Perutnya yang buncit tampak jelas menyembul keluar, dan tentu saja... dadanya... astagah, apa tambah besar lagi?

Aku melihat pandangan beberapa orang di sekitar Vany yang agak heran, karena bagaimana pun tampang adikku masih seperti anak kecil, tapi jelas sedang mengandung. Tapi aku tak peduli, dan aku tahu Vany juga tidak peduli. Belum sampai aku ke pembatas yang memisahkan penjemput dan orang yang dijemput, Vany sudah berlari menghambur dan memelukku erat-erat. Aneh rasanya, ada yang mengganjal di bagian perut. Tapi aku pun memeluk erat adikku.

“Kaaaaakkkkk... I miss you soo muchhh!!” ujarnya tulus. Aku tertawa dan membelai rambutnya.
“I miss you too, Hunny...”
Kami melepas pelukan, dan aku memandangi adikku yang berseri-seri, dan tentunya memperhatikan perutnya yang buncit. Ia memukul lenganku.
“Koq ngeliatnya kayak gitu?” tanyanya geli.
“Masih heran ngeliat kamu hamil...” kataku jujur. Vany terbahak.
“Mau pegang ga?” katanya, menyodorkan perutnya.
Aku mengulurkan tanganku, entah kenapa agak gemetar, dan dengan canggung mengelus perut Vany. Bulat dan mulus sekali rasanya. Vany tertawa lagi, menyadari kecanggunganku. Ia menggamit lenganku dengan sayang dan kami berjalan ke arah kedua orangtua kami.

“Apa kabar, Dit?” kata ibuku sambil mengecup pipiku.
“Baik banget, Ma,” kataku, kupeluk beliau erat. Ayahku menonjok lenganku perlaan. Aku nyengir dan merangkulnya. Tinggi kami hampir sama sekarang.
“Welcome home,” katanya. Aku mengangguk dan tersenyum cerah. Memang tak ada yang mengalahkan Jakarta sebagai rumahku. Banyak hal yang berubah di keluarga ini, tapi aku bersyukur karena kasih sayang tidak berubah di antara kami.

Kami berempat berjalan keluar gedung terminal ke arah mobil. Ayah dan ibuku di depan, aku mendorong troli sambil merangkul pinggang Vany di belakang mereka.

“Kamu bedaaa banget...” kataku pada Vany.
“Hm? Beda gimana?” tanyanya.
“Beda deh... Rambutnya, semuanya...”
Aku tak mampu menjelaskan dengan kata-kata.
“Tambah cakep ga?”
“Tambah besar,” bisikku. Vany tertawa terbahak-bahak.
“Dasar Kakak...”
Sambil memelankan suaraku, aku bertanya, “Eh kejutannya apa?”
Vany nyengir nakal dan berkata, “... Ntar malem aja di kamar.”

* * *

Rumahku, 22.00

“... Jadi kalo nurut aku sih antara kru pit stop yang lain sama yang kasi aba-aba untuk jalan ada salah paham.”
“Terus Massa langsung jalan aja gitu?”
“Ya. Langsung tancep gas, selang bensin masih nempel padahal. Jadi orang yang bagian ngisi bensin langsung kebanting gitu.”
“Hooo... Wah seru ya.”

Kami sekeluarga sedang duduk-duduk di sofa ruang tengah rumah kami, menonton pertandingan Manchester United vs Manchester City di TV sambil berbagi cerita. Aku sedang menjelaskan kepada ayah, ibu, dan Vany tentang insiden Felipe Massa yang menarik selang bensin dan membuat salah seorang kru Ferrari terpelanting pada balapan F1 di Singapura bulan September lalu. Kebetulan aku mendapat free pass untuk masuk ke area tribun VIP karena aku magang sebagai stage crew untuk acara di F1 Executive Lounge. Tempat dudukku sangat dekat dengan area pit stop, sehingga dapat melihat insiden Massa dengan sangat jelas.

“Sayang ya... Padahal kalo ga ada kejadian itu dia bisa menang ya,” kata ayahku.
“Iya... Jadi yang menang Alonso deh...” jawabku.

Kami terdiam. Vany duduk bersandar di sebelahku sambil mengelus-elus perutnya. Entah kenapa setiap kali melihat perutnya yang buncit, penisku mulai menegang (aku segera menggeser bantal untuk menutupinya). Badanku memang lelah sekali malam itu, tapi hatiku masih ingin mengetahui kejutan yang Vany siapkan bagiku. Seolah mengerti pikiranku, Vany nyengir dan menegakkan tubuhnya.

“Hmmmh...” Vany menghela nafas dan berdiri perlahan.
“Oh ya udah jam 10 ya...” kata ibuku, tersadar.
“Ya. Aku naik dulu deh ya, Pa, Ma...” ujarnya. Ia menoleh, menatapku dengan penuh arti. “Besok sekolah juga kan.”
“Ah ya... Aku naik juga deh ya...” kataku, mengetahui maksud Vany. “Capek juga.”
Ayah ibuku tidak menjawab, saling berpandangan. Dalam hati aku sepertinya mengerti apa yang mereka pikirkan.

Kami sudah setengah jalan menaiki tangga ketika tiba-tiba ayahku memanggil.

“Kak, Dik,”
“Ya?” jawabku dan Vany berbarengan sambil menoleh. Ibuku yang melanjutkan.
“... Jangan sampe kemaleman ya kalian maennya. Vany inget Kakak baru pulang, pasti capek. Kamu juga besok sekolah kan,” ujar beliau.

Terdiam sejenak, aku dan Vany saling berpandangan.

“Iya Ma tenang aja,” jawab Vany riang.
“Nite Ma, Pa!” kataku sambil mendorong punggung Vany agar melanjutkan naik ke lantai 2 dan masuk ke kamarku.

Begitu pintu kamarku menutup, tawa kami meledak.

“Hahahahahaha ngasi taunya vulgar gitu sih Mami?” kataku sambil tertawa.
“Hahahahaha iya tuh parah!” mata Vany berair karena tawa.
“Hahahaha...”

Terdiam sesaat. Aku memeluk adikku dari belakang. Vany menghembuskan nafas dengan agak gugup. Tanganku mengelus perutnya yang buncit. Wangi buah-buahan khas Vany memenuhi inderaku.

“... Tapi aku bersyukur punya orangtua kayak mereka,” bisik Vany. Aku mengangguk.
“Ya... Kalo yang lain mungkin kita udah diusir,” kataku sambil mengecup belakang telinga adikku dengan lembut. Vany bergidik.
“Mmmhh... Udah lama banget rasanya ga dicium kayak gitu...” bisiknya senang. Aku tersenyum, menurunkan kecupanku ke arah rahang belakang Vany.
“Mmm... Van...”
“Hmm...? Nap...a?” tanya Vany di balik desahan.
“Gapapa... Kakak kangen banget sama kamu gini,” kataku perlahan. Tanganku bergerak, meremas dadanya yang super besar perlahan.
“Tambah gede lagi ya?” tanyaku. Vany mengangguk.
“Iyalah... 34DD... Mmhhh...” katanya.
“Gila cepet banget tambah gedenya!” ujarku, terkejut. Saat aku pergi bulan Agustus lalu, dada Vany berukuran 32D.
“Iyalah namanya hamil... Mmmm... Ka...ak... Pelan donkk...” desah Vany keenakan. “Ah... Tapi gemuk tau aku... Mmhh...”
“Nggak koq... Sexy... Lagian kan emang hamil pasti gitu...”
“Iya sih.. Mmmhh... Aah... Kakak... Pelan-pelan...”

Aku meremas dada Vany dengan nafsu sambil terus menciumi dan menjilati lehernya. Vany menelengkan kepalanya, memberi ruang untuk memudahkanku menciuminya. Tanganku tak cukup besar untuk membekap dada adikku. Luar biasa empuk dan padat rasanya. Penisku sudah tegang setegang-tegangnya.

“Hmmm... Vann... Empuk banget...”
“Mmmnhh... Kakk... Kak... Jangan keras-keras...”

Vany berbalik, mencium bibirku. Kulumat bibir adikku, kumasukkan lidahku yang langsung dibelitnya. Kami berciuman semakin panas. Bunyi decak lidah kami yang saling membelit tedengar sexy di kamarku yang dingin. Vany mundur hingga ke arah ranjangku dan merebahkan diri di sana, diikuti aku yang menelungkup di atas tubuh adikku, melumat bibirnya dengan lembut. Vany membelit lidahku dengan nikmat. Tanganku bergantian bermain di atas perut dan dadanya yang empuk.

“Sayang... Udah boleh tau kejutannya?” tanyaku. Vany nyengir nakal.
“Mmm... Sabar donk, yang...” godanya. Perlahan, Vany mengangkat sedikit kaos tidur biru mudanya, menampakkan perutnya yang buncit dengan jelas, menggodaku. Kulitnya mulus sekali, tak ada bekas-bekas strechmark sama sekali. Penisku rasanya berdenyut-denyut di balik celanaku.

Aku tersenyum, mengelus dan mengecup perut adikku. Masih heran rasanya akan kenyataan bahwa yang di dalam sana adalah anakku sendiri. Sekali lagi, Vany seolah membaca pikiranku.
“... Ga nyangka ya, Kak?” tanyanya.
“Iya... Tapi Kakak seneng...” jawabku sambil mengecup perutnya. Entah kenapa enak sekali rasanya.
“Aku juga...” kata Vany. “... Cowo ato cewek ya?”
“... Semoga cewek...” jawabku. Vany tertawa.
“Koq gitu?”
“Abis maminya cantik banget... Kalo anaknya cewek harusnya secantik maminya...”
“Ciah.. Gombal...” dengus Vany geli. Aku nyengir. Tanganku merogoh ke arah dadanya, meremasnya dengan nikmat. Vany membuka kaosnya seluruhnya. BH Vany yang pink berenda tampak sangat kesulitan menampung dadanya yang besar; sebagian dadanya masih ada yang menyembul ke samping kanan-kiri cakupan BH itu.

“Gede banget sih...” kataku gemas sambil meremas dadanya. Aku merasakan puting Vany sudah mengeras di balik BHnya.
“Kakak yang buka deh... Kan bukannya dari depan,” katanya.

Tak menunggu disuruh dua kali, aku membuka kancing BHnya, dan perlahan, kedua tanganku menyingkapkan BH putih itu. Dada Vany bergelayut menggiurkan saat terlepas dari bekapan BHnya. Benar-benar besar dan kencang sekarang. Putingnya jelas bertambah besar, dan sekarang warnanya menjadi lebih gelap.
Tanpa ragu-ragu aku meremas dada Vany. Montok dan kenyal sekali. Jemariku memainkan putingnya yang tegak berdiri. Vany menggeliat, menggelinjang.
“Aahh.... Kakkk... Enak bangett...” desahnya.
Aku memainkan puting kirinya yang super sensitif dengan telunjukku. Tangan kiriku meremas dada kanannya, sementara jemari tangan kananku mencubit puting kirinya. Tiba-tiba aku tertegun. Aku merasa tanganku basah. Aku mendongak, menatap adikku. Vany tersenyum. Sepertinya aku tahu apa kejutannya.

“Van... Kamu...?”
“Hehehe coba aja...”

Vany menarik kepalaku, membenamkan wajahku dalam bekapan dadanya. Empuk dan lembut sekali. Perlahan, aku menggeser wajahku ke arah putingnya. Kujilat puting kirinya perlahan. Vany mengejang.

“Kakk... Sedot aja...” pintanya.
Aku menyedot putingnya... Dan seketika itu juga mulutku tersemprot cairan... manis... Susu!

“Van! Kamu udah kuar susu?” ujarku. Vany hanya nyengir lebar dan mengangguk. Aku kembali menyedot susu dari putingya dengan bersemangat. Enak sekali rasanya. Manis dan kental. Penisku benar-benar sudah sangat tegang.
“Mmhh.. Pelan-pelan... Kakk... Mmmnn... Kakak tuh kayak bayi gede...” katanya geli. Aku tak peduli, terus menikmati air susu adikku. Bergantian aku menyedot, menjilat, mengulum puting kiri dan kanannya, sambil terus meremas-remas, menikmati keempukan dada Vany dan manis susunya. Vany mengelus-elus rambutku dengan sayang.
“.... Kakk... Mmmhh.... Suka banget ya?” tanyanya perlahan.
“... Mmmm... Cppp... Sllrpp... Enak banget... Vann... Mmm...” kataku dengan mulut penuh. Aku menegakkan diri, menjilat ceceran air susu di sekitar mulutku, dan mengecup bibir adikku lembut.
“Kamu pinter kasi kejutan...” bisikku. Vany tersenyum.

Kami berciuman lagi. Tangan kiriku merogoh ke bawah perutnya yang buncit, masuk ke dalam celana pendek dan celana dalamnya. Sudah basah sekali.
“Basah banget, Van?” godaku.
“Iihh... Kakak kan yang bikin gituu...” katanya manja. “Ahh!!”
Aku memasukkan jari telunjuk dan jari tengahku ke dalam vaginanya yang telah sangat basah sehingga Vany berjengit.
“Kakk... Nakal bangett... Mmmhh... Mmmmnn... Mmmhhh!”
Jemariku keluar-masuk vaginanya, makin lama makin cepat. Vany menggeliat, mengejang. Aku tahu sebentar lagi ia akan orgasme.
“Ayo, Sayang... Keluarin aja...” kataku sambil terus memainkan jemariku di dalam vaginanya. Vany tak tahan lagi.
“Kakkk... Kaa... Ahhhh... Aaahhh... Kkkaakk... Mauu... Kellluarr... NNnnhh!!!”
Tangan kiriku tersiram cairan dingin kuat-kuat. Vany squirting kuat sekali.
“Ooohh.... Oohhh... Kaakk... Kakkk...” kata Vany terengah.
“Kamu masih kuat ya squirtingnya,” kataku, tersenyum.
“Ayo Kak... Lanjutin...” pintanya.

Aku menurut. Perlahan, aku menciumi leher Vany, kemudian turun ke dada dan perutnya yang mulus. Tubuh Vany bergetar saat ciumanku turun dari perut ke arah pinggang bawahnya. Dengan lembut kubuka celana pendek Vany. Vany mengenakan celana dalam pink tipis berenda, serasi dengan BHnya. Sudah basah kuyup.

“Buka aja ya?” tanyaku. Vany mengangguk, mengangkang untung memudahkan kakaknya membuka.

Kubuka celana dalam adikku perlahan. Bibir vaginanya yang ditumbuhi rambut sangat tipis menjadi lebih tembem sekarang setelah ia hamil, agak berdenyut setelah tadi keluar sekali. Tanpa ragu-ragu aku membenamkan kepalaku di selangkangannya. Vany menggrunjal.

“Mmmhh... Kakk...” desahnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Kuciumi vagina adikku dengan nikmat. Wangi segar sekali. Perlahan, kujulurkan lidahku ke dalam vaginanya dan mulai menjilati dinding bagian dalam vagina Vany.
“Mmmnnn... Aaahh... Kakkk... Pelan... Oohh....” desah Vany, mencengkeram rambutku. Aku memainkan lidahku semakin liar di dalam vagina adikku. Vany mengejang.
“Kakkkkk.... KKAAKKK!!!”
Vany menjerit sambil squirting untuk kedua kalinya, menyiram wajahku dengan cairannya. Tubuhnya gemetaran hebat, nafasnya tersengal. Kulepas kaosku untuk mengelap wajahku yang basah kuyup.
“Hhh... Hhhh Kakk... Hhh...” dada dan perut Vany bergerak naik-turun menggiurkan, mengatur nafas.
“Ayo, giliran Kakak ya sekarang...” kataku sambil menegakkan diriku di hadapannya, menyodorkan penisku ke arah wajahnya.

Vany mengangguk, beringsut menegakkan diri perlahan. Perutnya yang besar membuatnya tak selincah dulu. Vany duduk bersender ke kepala ranjang, dan mengelus penisku perlahan. Dengan tatapan menggoda, Vany menjilati penisku yang sudah sangat tegang. Dijilatinya dengan lembut dari pangkal hingga kepalanya, kemudian Vany memutar-mutar lidahnya di kepala penisku.
“Mmm... Sllrpp... Kasian udah lama ga dijilat aku... Mmmm..” kata Vany manja. Aku nyengir sambil menahan nikmatnya.
“Ngghh... Sedot... Sedot aja sayang,” pintaku.
Vany memasukkan penisku ke dalam mulutnya, dan dengan ahli mengulumnya. Kepalanya bergerak maju-mundur. Enak sekali.
“Aahh... Vannn... Mmmmnnhh.... Kamu emang jago... Nggg...” desahku.

Vany menggerakkan lidahnya di bagian bawah penisku sambil terus mengulum dan menyedotnya kuat-kuat. Teknik oral sex adikku sudah sangat hebat sekarang.

“Mmmm... Sllrppp... Cppp... Tabah besal lagii.. Nagalll.. Sllrpp... (Tambah besar lagi... Nakal)” katanya dengan mulut penuh. Vany semakin mengencangkan sedotannya. Kalau seperti ini aku tak akan tahan lama.
“Ss.... Sayangg... Mau kuarr... Nnggghhh... Titt... F... uck aja...” desahku tak kuat.
“Oke...” katanya.

Vany menghentikan sedotannya dan memegang penisku. Ia mengarahkannya ke arah putingnya yang juga telah tegang, dan memainkan penisku di situ. Enak sekali rasanya.
“Vaann... Vannn... Nngghhh....” aku benar-benar tak tahan.
“Mmmhh... Kakk...” desahnya menikmati. Vany meremas dadanya hingga air susu mengalir keluar dari kedua putingnya. Ini sudah keterlaluan.
“VaannnNNNNN!!!!” aku meledakkan spermaku berkali-kali ke atas dada adikku yang besar, ke leher dan wajahnya. Enak sekali. Vany menjilat sperma yang ada di sekitar bibirnya sambil mengocok penisku yang masih tegang perlahan.

“Mmm... Kakak ga seru nihh... Masa digituin aja langsung keluar...” ujarnya bercanda.
“Ya lagian kamu disuru titf*ck malah maen-maenin di puting kamu... Pake keluar susunya segala lagi... Mana tahan,” kataku membela diri. Vany nyengir lebar.
“Segitu sukanya ya aku titf*ck?” bisiknya perlahan. Tersenyum, kuletakkan penisku di belahan dadanya. Empuk dan lembut sekali, kulitnya sungguh-sungguh mulus. Vany menekan kedua dadanya yang luar biasa bulat dan besar, menjepit penisku di tengah, dan mulai menggerakkannya naik-turun.
“Ooohhh... Vannn... Ini enaakkk.. nngghh... banggett...” kataku dengan suara tercekat. Penisku terasa berdenyut-denyut di tengah bekapan dadanya. Sensasinya luar biasa karena bagian samping penisku terbungkus dadanya yang besar dan empuk sementara bagian bawahnya tertekan perutnya yang buncit dan keras. Benar-benar tak bisa dilukiskan nikmatnya.

“Mmmnnhh... Vannn.. Vann...” tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur. Vany menjulurkan lidahnya, menjilati kepala penisku yang hilang-timbul dari balik dadanya.
“Ngghh.. Vann.. Vann... Kakak mau.. keluarr... Mmmnnhhh...” aku menggerakkan pinggulku semakin cepat. Jepitannya terasa semakin kuat.
“Kuarin di mulutku ya, Kak...” katanya. Aku mengangguk-angguk.

Vany melepas jepitan dadanya dan segera menyedot penisku kuat-kuat. Aku menyemprotkan spermaku ke dalam mulutnya berkali-kali, rasanya tak mau berhenti. Mulut Vany terlalu mungil untuk menampung semuanya, sehingga sebagian menetes ke dagu dan dadanya. Penisku masih tegang. Tak ada tanda-tanda akan melemas sedikit pun. Badanku masih menginginkannya.

Vany menelan sperma kakaknya. Seksi sekali.
“Kamu selama kakak pergi sering nonton bokep ya?” tanyaku tiba-tiba.
“Hahahahaha.. Koq kakak tauu??” tanyanya polos.
“Gayanya udah persis gitu...” Vany terkekeh. Tangannya bergerak turun, mengelus perutnya yang buncit, dan merogoh vaginanya. Jemarinya membuka bibir vaginanya, memamerkannya padaku.
“Ayo Kak... Katanya pengen ngerasain...” godanya.



Aku tersenyum. Kuarahkan penisku ke vagina adikku, kumainkan bibir vaginanya yang tembem dengan kepala penisku.

“Nngg... Kaak... Ayoo masukiinn...” pintanya tak sabar.
“Iya iya ini yang udah ngebet siapa sih sebenernya..” candaku. Vany terbahak.
“Makanya cepett...”
Aku menunduk, mengecup perut adikku yang buncit dan mulus.
“Papi masuk ya...” kataku meminta izin pada anakku. Vany tertawa lagi.

“Kaakk... Ayoo...”
Tak perlu disuruh lagi, aku segera menghujamkan penisku ke dalam vaginanya. Hangat dan sempit sekali, lebih nyaman dari vagina-vagina lain. Vany menggrunjal, tangannya yang mungil mencengkeram seprei. Kugerakkan pinggulku perlahan di hadapannya.
“MMnnhhh!! Kakk... Aaahhh... Aahh.. Ahh..” desahnya tiap kali penisku menghantam mulut rahimnya. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan seirama tusukanku. Sesekali air susu merembes keluar dari putingnya.
“Vaann.. Nghh.. Nghhh... Jadii... Anget... Bangett.. Ahh...” kataku.
“Mmhhh.. Mnnhhh... Ahh.. Kakk.. Kak pelan.. pelaann...”

Aku meremas dada Vany yang penuh susu. Air susunya muncrat keluar, membasahi tanganku. Sambil terus menghujamkan penisku, aku menunduk, menyedot dan menjilat putingnya, meminum susu adikku yang manis.

“Aahh.. Ahhh.. Kakk... Kakkk... Mmnhhh... Mauu...” desahnya terbata. Wajahnya merah padam. Aku tahu Vany sudah hampir mencapai klimaksnya.
“Nnghhh... Keluarin.. Keluarin sayangg...” ujarku, mempercepat genjotanku.
Vany mencengkeram seprei kuat-kuat. Aku tahu jilatan dan kulumanku di putingnya semakin merangsangnya, sehingga kumainkan lidahku di atas puting kirinya yang super sensitif. Vany mengejang, tak tahan.
“Kaaakkkk... KAAKK!!!” Vany menjerit sambil squirting kuat-kuat. Air susunya menyemprot keluar ketika ia mencapai orgasme. Luar biasa sekali. Vaginanya pun menyempit drastis, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku semakin mempercepat genjotanku.
“MMhhh.. S... Sayangg.. Enakk bangettt... Ngghhhh...” bisikku.
“Kakk... Ahhhh... Ahh.. Hhh... Pelan... Pelann...” desah Vany di balik nafasnya yang tersengal. Keringat membanjiri tubuh kami. Tangannya merangkul leherku.
“Vann... Kamu.. Nghh... Tambah... Mmhh.. Sempit.. Tauu...”
“Aahh... Ahhh... Tapi.. Tapi ntar.. Bayinya... Sakit... Aahhh...” kata Vany sambil mengelus perutnya.

Aku tertegun.

“... Hhh... Hhh... Kenapa Kak?” tanya Vany heran karena aku tiba-tiba berhenti.
“... Hm? Oh... Nggak... Gapapa...” kataku, menggelengkan kepala. Ini persis dengan mimpiku berbulan-bulan lalu saat belum mengetahui bahwa adikku sedang mengandung anakku.
“Kurang kenceng, kah?? Oke bentar...” kata Vany. Tiba-tiba ia berkonsentrasi, mengetatkan jepitan vaginanya, dan mengeluarkan ‘jurus’nya: penisku seketika seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan.
“Nngggaahhhh... Vaann... Vann.. Vaannn... Kakakk... Ga bilang gitu...” kataku, menahan sensasi nikmatnya. Aku memejamkan mata rapat-rapat.
“Mmhhh... M... Lagian... Tau-tau... Ahh.. Diem gitu...”
“Iya dehhh... Cepet deh... Mmmhhhh...” kataku, mempercepat hujamanku. Kulumat bibir adikku. Lidah kami saling berbelit, berdecak. Penisku sekali lagi diserang gelombang Vany, dan aku sudah tak tahan lagi.
“Mmmmwahh... VaannnnnnnNNNN!!!!” seruku sambil melepas ciuman. Aku mengeluarkan cairan putihku di dalam vaginanya berkali-kali. Vany mengencangkan vaginanya, membuat penisku serasa diperas.

Kucabut penisku saat masih belum berhenti keluar, dan meledakkan sisa sperma di atas perut adikku yang sedang hamil. Vany terbaring terengah-engah; cairan putih kental mengalir keluar dari dalam vaginanya membasahi pahanya dan ranjangku. Perutnya yang buncit, terlihat mengkilat karena keringatnya tertimpa cahaya lampu kamarku, bergerak naik-turun. Vany memejamkan mata, menikmati sensasi yang masih tertinggal.

Kududukkan diriku di sisinya. Penisku sudah linu, tapi masih tetap meminta lebih lagi. Vany menyenderkan kepalanya di bahu kakaknya. Kukecup kepala Vany.
“Masih mau lagi ya, Kak?” tanyanya saat melihat penisku yang masih tegak berdiri.
“Mungkin sekali lagi... Kamu udah capek belon?”

Vany menggeleng.

“Yuk... Anal?” tanyanya. Aku nyengir dan mengangguk. Vany beringsut menegakkan dirinya dan berjongkok di atas penisku, membelakangi aku. Kuremas pantatnya yang besar dan montok.
“Sekarang bahkan lebih besar dari Cherry...” kataku memuji.
“Kan hamil.. Ntar Cherry kalo hamil juga pasti lebih gede lagi...” katanya. Aku tertawa. Tak terbayang seberapa besarnya pantat sahabatku saat hamil nanti.

Kubuka bongkahan pantat adikku, menampakkan anusnya yang baru sekali dimasuki. Perlahan, Vany menurunkan pinggulnya ke atas pangkuanku, hingga penisku perlahan masuk ke dalam anusnya yang sempit. Sensasi lembut pantatnya dan sempit anus adikku membungkus penisku. Enak sekali.
“Mmmhhh... Vannn...” kataku sambil mulai perlahan menggerakkan pinggulku naik-turun.
“Ngghh... Kakk... Kalo bukan... Nhh... Kakak... Aku ga mau loh di anal... Mmhh...” ujarnya terbata. Vany menyenderkan punggungnya ke arahku.
“Mmhh.. Mmhh.. Tapi... Kamu... Suka kan...” kataku. Aku semakin mempercepat genjotanku.
“Aahh.. Ahh... Nnhh... Se... Sekarang sih... Nggaahh.. Sukaa... Aaahh...” desahnya. Kuremas-remas dada adikku dengan nikmat, memeras air susunya hingga menyemprot-nyemprot keluar. Penisku menghujam ke dalam anusnya berkali-kali, semakin lama semakin cepat. Enak sekali, sempit sekali.

“NMmhh... Sayang... Ini sempit bangetttt... Mmmhhh....” kuciumi lehernya. Pinggul Vany mulai bergerak naik-turun juga, membantuku.
“Aaahh... Aaahh... Kakkk...” desah Vany sambil membelai perutnya. Tanpa sadar, tangannya merogoh ke arah vaginanya yang masih berlumuran spermaku dan mulai memasukkan jemarinya sendiri ke dalam.
Kumainkan, kucubit puting adikku yang tegang. Nafas kami seolah seirama sekarang. Erangan dan desahan memenuhi kamarku malam itu.
“Kakk... Aahhh... Kakk... Aaaahh... Ahh.. Keluar... Keluarrr...” desah Vany tak karuan. Jemarinya semakin cepat memainkan vaginanya sendiri. Genjotanku semakin kuat di anusnya.
“Bentar.. Bentarrr... Bentar Vann... Nnhh... Bar.... enggg.. Yuk...” kataku.
“Kaakk... Kakk... Ga kuatt... Nggahhh... GGHhh.!!!... Kaaakk... Kakakkkkk!!! KAAAK!!”
“Oke.. Ohhhh... VaannNNN!!! Vanyyy!!!”

Kami orgasme bersama. Kuledakkan berkali-kali spermaku ke dalam anusnya. Tanganku meremas kuat-kuat dada Vany hingga saat ia squirting, air susunya menyemprot kuat-kuat keluar, tak henti-henti.
Kami merosot lemas ke atas ranjang. Vany berguling ke sebelahku, terkulai. Anus dan vaginanya masih berlumuran sperma kakaknya. Kepalaku sakit sekali rasanya setelah keluar empat kali berturut-turut. Rasanya ML malam ini cukup untuk beberapa hari. Kupejamkan mataku. Kami langsung tertidur tanpa berkata apa-apa.

* * *

Aku terbangun tiba-tiba, kedinginan. Kulirik jam di dinding kamarku... Samar-samar... Pukul enam pagi. Pandanganku kabur, tapi sakit kepalaku telah hilang. Aku menoleh ke sisiku, tinggal seprei dan selimut kosong. Vany rupanya sudah bangun lebih dahulu.

“Ehh... Udah bangun...”

Aku menoleh, melihat Vany masuk dari arah pintu tembusan ke kamarnya, sedang mengancingkan kemeja putih SMPnya. Sepintas aku melihat kulit mulus perut hamilnya di balik kemeja itu.

“Mmhh... Mau berangkat sekolah?” tanyaku lemas.
“Yup!” ujarnya riang. Aku selalu heran pada semangat yang dimiliki adikku ini. Padahal malam sebelumnya kami habis-habisan ML. Pandanganku mulai jelas, dan menyadari bahwa tubuh Vany yang sedang hamil terlihat seksi sekali dalam balutan seragam putih-biru SMP.
“Oya Kak... Hari ini ada sparring basket juga pulang sekolah.. Aku mau nont...”

Kata-kata Vany terpotong. Aku telah memeluknya dari belakang dengan lembut. Kubelai perutnya yang buncit dengan kedua tanganku.

“Mmm? Napa, sayang...?” bisiknya riang. Ia mendongak, mengecup pipiku.
“Kamu seksi banget pake seragam sekolah...” bisikku di telinganya. Kukecup juga pipi Vany dengan lembut. Vany terkikik.
“Hihihi... Aku udah ngira kakak bakal bilang gitu...” katanya.
“Mm... Kamu ga boleh cape-cape loh di sekolah...” kataku menggoda sambil memegang dadanya dengan lembut. Vany mendesah pelan. “Mending di rumah...”
“Kak... Ntar aku telat lohh...”
“Kan sekolahnya deket...” bisikku sambil melepas kancing kemejanya perlahan. Kukecup belakang telinga adikku. “Kakak pengen minum susu dulu...”
“Hehehe... Ketagihan ya?” tanyanya, aku mengangguk.
“Mm... Gimana kalo kakak ntar dateng ke sekolah... Terus kita nonton basket bareng?” tawarku. Kuremas dada Vany dengan lembut. Aku merasakan puting adikku mulai menegang di balik BH putihnya.
“Hmmhh.. Boleh... juga...” desahnya. Kuangkat BH Vany hingga dadanya yang super besar jatuh keluar berguncang. Aku bergerak ke arah depan Vany dan mulai mengulum putingnya, menyedot dan meminum air susunya. Vany terduduk di atas kursi komputerku, memejamkan mata menikmati.
“Ngghh... Kakk... Kalo aku telat... Kakak yang tanggung jawab.. Ya... Mhh...” katanya sambil membelai rambut kakaknya.

Sambil mengelus perutnya yang buncit dan terus menyedot air susu adikku, aku berpikir tentang apa yang akan kami lakukan siang nanti di sekolah...


Sepertinya akan seru.

No comments:

Post a Comment