Sunday, October 21, 2012

Cherry: My Best Friend




Jakarta, Januari 2008

“...Dan... Untuk penampilan terakhir… Juara bertahan 3 kali High School Modern Dance Competition… Everybody please welcome... Tim tuan rumah... THE FOXES!!”

Aula meledak dalam tepuk tangan. Teriakan bersemangat dan suitan riuh rendah. Lampu perlahan padam, tepuk tangan mereda. Hening, menanti.

Enam sosok berselubung jubah hitam bergerak perlahan memasuki panggung. Tepuk tangan dan seruan penonton mulai terdengar kembali. Alunan musik perlahan memenuhi ruangan. Keenam sosok tadi meliuk-liuk di atas panggung, sangat perlahan, seksi.

Tiba-tiba bunyi sirine terdengar kencang, dentuman drum menyusul setelahnya. Lima sosok di atas panggung menanggalkan jubahnya, berubah rupa menjadi lima cewek seksi dengan tank top putih dan hot pants sangat pendek. Penonton kembali meledak dalam tepuk tangan dan sorakan.

Kelima cewek itu menari, meliuk, menggeletar mengikuti hentakan musik. Lampu di atas panggung pun menari, menyinari panggung dengan berbagai macam cahaya yang berbeda. Seluruh aula menyaksikan dengan takjub. Memang kualitas tim modern dance SMU kami diatas tim-tim yang lain. Sudah 3 tahun berturut-turut The Foxes memenangi kejuaraan modern dance antar SMU se-Jakarta ini.

Aku menoleh ke sekelilingku. Ya, sudah kuduga. Sorot mata mereka menangkap kejanggalan dari penampilan The Foxes kali ini; dari enam dancer yang ada di atas panggung, lima orang sudah menari dengan sangat bersemangat, sementara 1 dancer lagi masih tetap berdiri membeku di bagian tengah panggung tanpa melepas jubah hitamnya.

Seolah menjawab rasa heran yang ada di hati penonton; musik tiba-tiba berhenti, diiringi kelima dancer yang menjatuhkan diri ke lantai panggung. Hening sesaat. Lagu “Bounce” dari Timbaland (soundtrack film Step Up 2: The Streets) tiba-tiba terdengar. Saat dentuman drum pertama terdengar, dancer keenam melempar jubahnya ke arah penonton. Cewek langsing berambut panjang hitam berkilau, dengan kulit sawo matang yang eksotis, mengenakan tank top hitam dan celana panjang baggy cargo hijau army itu mulai menari, menggerakkan tangan di atas satu-per-satu tubuh kelima temannya, dan “mengangkat” mereka seolah mereka hanyalah boneka kayu yang digerakkan dengan benang. Penonton meledak dalam sorakan dan tepuk tangan.

Aku nyengir, menggelengkan kepala. Itulah Cherry, kapten tim modern dance sekolahku dan sahabatku sejak kecil. Keluarga kami sudah berteman sejak dulu; nenekku dan neneknya berteman saat masih di Yogyakarta dulu, ayahku dan ibunya adalah teman SMU, dan kami bersahabat sejak... Well, sejauh yang kami bisa ingat, kami sudah bersahabat. Rumah kami pun bersebelahan, jadi memang kami sangat dekat. Cherry ini cewek yang tomboy. Saat masih kecil dulu ia sering dikira cowok oleh banyak orang karena potongan rambutnya sangat pendek dan ia selalu bermain dengan cowok; entah kenapa tiba-tiba setelah masuk SMP ia mulai memanjangkan rambut dan terlihat lebih feminin.

Cherry terus menari, meliuk, popping. Ia dan kelima dancer yang lain bergerak dengan sangat harmonis sekarang, seolah menguarkan aura dari tubuh mereka. Tubuh-tubuh langsing mereka yang berkeringat berkilau tertimpa cahaya lampu. Cherry benar-benar menjadi pusat dari penampilan kali ini. Saat lagu mencapai bagian tengahnya, tiba-tiba kelima dancer yang lain membuat formasi menutupi Cherry dari pandangan, dan saat mereka bergerak membuka ternyata Cherry telah melepas celana hijaunya, menampakkan hot pants putih yang sangat seksi.

Para penonton, terutama yang cowok, bersorak dengan semangat. Aku tahu apa yang mereka perhatikan; pantat Cherry. Saat masih mengenakan celana panjang baggy cargo yang longgar saja semua orang sudah dapat melihat dengan jelas bentuk pantatnya yang sangat bulat dan montok, apalagi sekarang. Seolah mengerti keinginan penonton, Cherry bergerak maju ke arah depan panggung, membelakangi penonton dan menggetar, menggoyangkan pantatnya yang sangat seksi. Penonton menjerit tak karuan.

Aku melirik ke sebelah kananku. Tidak jauh dari tempatku berdiri, Andrew, kapten tim basket SMU kami, sedang didorong dan disenggol oleh beberapa temannya sambil bercanda.

“Cewek lu tuh, Dru!” teriak salah seorang cowok.
“Gila seksi abis!”
“Iyalah... Cewek gue! Heh! Udah jangan melototin pantatnya terus!”

Salah seorang sahabat Andrew berusaha memelankan suaranya, tapi aku masih bisa mendengarnya berbicara.

“Udah pernah lu anal belon?” tanyanya. Andrew terlihat agak kecewa.
“Belon, bro... Dia ga mau gue anal... Susah lah...” jawab Andrew dengan suara pelan.
“Yah... Iya sih... Kebanyakan cewek pada ga mau dianal ya...”
“Iya... Sayang, padahal pantatnya kayak gitu...”

Aku tersenyum. Ga mau dianal? Kataku dalam hati. Siapa bilang!

* * *

Jakarta, November 2002

“Oke, Dit! Kamu masuk, gantiin si Steven!”
“Ya, Pak!”

Aku bangkit dari tempat duduk pemain cadangan, mengencangkan tali sepatuku. Ini pertandingan pertamaku di tim sepak bola SMP. Setelah menunggu cukup lama di bangku cadangan dan bermain di tim B, akhirnya saatnya tiba untuk aku masuk dan menunjukkan kemampuanku di tim A.

Cherry, yang saat itu bertugas sebagai official pertandingan, mengangkat papan pergantian pemain. Nomor 7 keluar, nomor 20 masuk. Aku berdiri di sebelah Cherry, jantungku berdegup kencang. Pertandingan pertama, akhirnya!

Steven melangkah perlahan ke pinggir lapangan, diiringi tepuk tangan penonton. Ini hanya pertandingan persahabatan dengan SMP tetangga. Kami sudah unggul 3-1, dan pertandingan sudah hampir berakhir, sehingga pelatih melakukan penggantian pemain untuk mengulur waktu dengan memasukkanku yang masih kelas 1. Walaupun begitu, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini!

“Ciee... Pertandingan pertama...” bisik Cherry, masih mengangkat papan itu. Aku tersenyum.
“Jangan tegang ya, Dit! Gue tau lu jago...” katanya lagi.
“Sip... Doain ya...” kataku. Steven, kelas 3, menghampiriku, menepuk tanganku.
“Gud luck, man...” katanya. Aku mengangguk.

Tepat sebelum berlari memasukki lapangan, tanpa sepengetahuan semua orang lain, tangan kiriku iseng meremas pantat Cherry. Cherry berjengit kaget, berusaha menggapai lenganku untuk dicubitnya, tapi aku buru-buru lari sekencang-kencangnya ke posku sebagai gelandang kanan.

Aku menoleh ke arahnya di pinggir lapangan. Muka Cherry merona merah. Mulutnya membentuk cengiran antara kesal dan geli. Ia menjulurkan lidah padaku. Aku nyengir, membalas menjulurkan lidahku.

Sudah berapa lama ini kami sering bercanda seperti itu. Sejak tanpa sengaja aku menepuk pantatnya saat akhir kelas 6 SD yang lalu, aku selalu berusaha mencari kesempatan untuk merasakan keempukkan pantatnya. Entah kenapa, sensasi empuk dan padat pantat Cherry tak pernah bisa hilang dari pikiranku sejak hari itu. Cherry selalu jengkel dan berusaha menghindar dari tepukan atau remasan tanganku di pantatnya, tapi kalau aku berhasil, ia tak akan menolak.

Jeffrey mengoper bola pada Satria. Satria menerimanya, mengontrol bola sebentar dengan kaki kanannya, kemudian berlari kencang menerobos bagian tengah lapangan. Dua pemain bertahan lawan datang menghadang. Ia terpojok. Tapi saat itulah peluangku datang.

“Sat!” teriakku. Satria menoleh sekilas, kemudian menyodorkan umpan ke arahku. Bek lawan terkejut karena menyadari aku bebas dari penjagaan. Aku berlari sepanjang sayap kanan lapangan, dikejar oleh bek kiri dan bek tengah musuh. Saat mereka hampir menyentuhku, aku sudah melepaskan umpan silang ke arah kotak penalti.

Satria dan kiper lawan sama-sama meloncat, menggapai bola. Satria lebih tinggi, menyambut bola dengan kepalanya. Sundulan terukur ke arah gawang yang kosong...

* * *

“Duuh... Yang dipuji pelatih...”
“Hahaha diem deh!”

Kami sedang berjalan ke arah gudang olahraga untuk mengembalikan bola dan perlengkapan pertandingan yang lain. Hari sudah sore, sekitar pukul 5. Sekolah sudah sepi. Hari ini memang giliranku yang beres-beres perlengkapan, dan Cherry membantuku. Pelatih meminjamkan kunci gudang olahraga dan memintaku menyimpannya dulu malam ini karena ia harus buru-buru pulang.

Akhirnya kami menang 4-1 di pertandingan persahabatan tadi. Seusai pertandingan, pelatih secara khusus memuji umpan silangku yang membuahkan gol keempat tadi. Aku cukup bangga; pertandingan pertamaku berlangsung sukses. Tapi rupanya pujian dari pelatih tadi menjadi bahan bagi Cherry untuk menggodaku.

“Keren loh tadi...” kata Cherry sungguh-sungguh.
“Iya, iya... Thank you... Udah donk jangan digodain terus...” kataku.
“Hahaha... Siapa yang godain sih? Emang keren tau!” katanya lagi.
“Iya iya...”

Kami sampai di gudang olahraga. Aku meletakkan keranjang bola di lantai dan membuka kunci pintu. Gudang ini cukup besar, salah satu yang paling besar di sekolahku. Kami masuk, menutup pintu, dan mulai meletakkan jaring gawang, bola-bola, serta rompi-rompi latihan di tempatnya masing-masing.

“Eh, rompi tempatnya di atas ya?” tanya Cherry, sambil mendongak.
“Ya. Di rak nomer tiga itu... Duh susah amat sih ditaruhnya di situ...” kataku.
“Gapapa... Biar gue yang taro di sana,” jawabnya. Ia mulai memanjat kotak-kotak yang ada di lantai dan menggapai rak nomor tiga. Aku memperhatikannya, dan saat itu mataku terantuk pada pantatnya. Sejak kecil pantat Cherry memang sudah sangat bulat dan lebih tebal dari pantat cewek-cewek lain seusianya.

Aku nyengir saat melihat kesempatan besar itu. Aku berjingkat perlahan ke belakangnya. Cherry tidak memperhatikanku, masih berusaha meletakkan rompi-rompi latihan itu.

“Bisa?” tanyaku, mengalihkan perhatiannya.
“Bi... Sa... Sih... Tunggu...” kata Cherry, berkonsentrasi penuh pada rompi.

Saat itu aku meremas kencang-kencang pantatnya yang montok dengan kedua tanganku. Cherry yang terkejut kehilangan keseimbangan, terpeleset. Aku pun terkejut dengan reaksinya yang mendadak itu, sehingga tak sempat menghindari tabrakan. Kami jatuh terjerembap ke lantai gudang olah raga, diikuti setumpuk rompi dan kardus kosong.

“Aduuuhhh!!! BEEGOOO!!! Ngapain sih lu tau-tau ngeremet pantat gue gituu!!??” raung Cherry kesal.
“So... Sorry... Gue ga nyangka lu bakal reaksinya sampe heboh gitu...” kataku membela diri.
“Iiihhh... Nyebelin banget tau nggak! Sekarang musti ngeberesin lagi semua kan!” katanya, masih kesal.
“Iya... Iya... Sorry...”

Aku membantunya berdiri. Lutut Cherry memar menghantam lantai, sementara siku lengan kananku juga memar. Sesaat sepertinya Cherry sudah akan mulai mengomeliku, tapi saat berikutnya ia menghela napas, dan mulai memberesi rompi dan kardus yang berserakan di lantai. Kali ini aku membantunya, merasa bersalah.

“Kenapa sih lu demen banget sama pantat gue?” tanya Cherry setelah diam beberapa lama.
“Heh?” aku terkejut ditanya seperti itu. “Eh... Ya... Abisnya...”
“Apa?”
“Ya kan empuk...” jawabku, bingung.
“Iiih... Nyebelin!!” ujarnya sewot. Tapi aku menangkap nada geli dalam suaranya. “Udah? Empuk doank? Kalo empuk doank mah remet aja tuh bantal lebih empuk...”

“Ya nggak lah... Padet juga...” kataku, lebih berani. “Montok...”
“Iih... Terus?”
“...Apa lagi? Kenyal... Gede... Seksi...”
“Iihh...”

Muka Cherry merona merah. Sekilas aku melihat senyum malu di bibirnya yang tipis.

“Sama cewek yang di video lebih seksi mana?” tanyanya tiba-tiba.

Aku terkejut. Beberapa malam sebelumnya kami bermain internet di kamarku. Ketika itu kami iseng-iseng membuka situs bokep, dan tanpa sengaja kami menemukan cuplikan video anal sex. Kami benar-benar terpaku menonton video itu, dan saat video itu selesai, hal pertama yang ada di pikiranku adalah pantat Cherry. Cherry pun sepertinya tak dapat menghilangkan adegan itu dari benaknya. Sejak itu kami cukup sering membahas tentang anal sex, dan tanpa sepengetahuannya, aku membayangkan diriku meng-anal Cherry, bahkan sampai terbawa ke mimpi basah!

“Eh... Eh...” aku tak tahu harus menjawab apa. Cherry terlihat serius.
“Eh... Ya... Gatau deh...” jawabku, bingung.
“Oh... Oke...”

Hening. Ada rasa canggung dan aneh yang menyelimuti diriku. Jantungku berdegup kencang. Bayangan tentang diriku meng-anal Cherry kembali muncul, lebih jelas dari hari-hari sebelumnya.

“Eh... Lu... Lu suka kebayang video itu ga?” tanya Cherry.
“I... Iya lah...” jawabku. “Kenapa?”
“... Lu... Kebayang ngelakuin itu?”
“HeeH? Cher... Koq nanya gitu?” kataku. Panik.
“Dit... Serius... Lu kebayang ngelakuin itu...” katanya lagi. “...Itu... Anal?”
“Eh... Iyalah... Ya... Iya...” jawabku gelagapan.
“Kebayangnya sama siapa?”

Aku benar-benar panik sekarang. Rasanya seperti ketahuan berbohong di depan orang tua. Jantungku berdegup tak karuan. Aku tak mungkin menjawab jujur!

Saat aku masih bingung, tiba-tiba Cherry menjawab semuanya.

“Karena sejak malem itu gue kebayang terus di-anal sama lu...”

Aku kaget bercampur lega. Jadi Cherry juga membayangkan apa yang aku bayangkan! Aduh... Ini gila...

“Eh... Serius lu?” tanyaku. Cherry mengangguk. Mukanya merah padam sekarang.
“Sampe kebawa mimpi...” katanya pelan.

Aku bingung. Saat itu, entah kenapa, aku merasakan celana pendekku mulai sempit. Penisku menegang. Bayangan adegan analku dengan Cherry semakin jelas, mengaburkan pandanganku.

“Eh... Gue... Gue juga tau...” kataku akhirnya. “Kebayang anal sama lu terus...”
“Iya?” tanya Cherry. Nadanya bersemangat. “Serius?”
“Ya... Eh...” kataku, agak malu. “Sampe kebawa mimpi juga...”
“Lu... Eh... Kebayangnya gimana?”
“Ya gitu... Dari belakang...” kataku. Keberanianku mulai kembali.
“Sampe keluar? Kayak yang di film?”
“Iyalah...”
“Oh...”

Kami terdiam lagi. Tak tahu harus melanjutkan ke mana.

“Eh... Ayo beresin... Udah sore loh...” kataku canggung. Aku mulai membungkuk dan memasukkan rompi ke dalam kardus lagi saat tiba-tiba Cherry memelukku dari belakang.

“Ch... Cher?” tanyaku kaget.
“... Dit...” bisiknya. Suaranya bergetar. “... Dit gue pengen...”
“... Pengen apa?” tanyaku. Aku sudah tahu jawabannya bahkan sebelum bertanya.
“... Anal...”

Penisku tegang sekuat-kuatnya. Sakit rasanya terjepit di dalam celana dalam dan celana pendek SMP yang kaku.

“... Mau nggak lu anal-in gue?”
“Eh... Cher! Gila ah... Itu kan cuma film... Jangan lah,” kataku, menyangkal diriku sendiri.
“Tapi gue pengen... Gue ga bisa ngilangin bayangan lu lagi nusuk-nusuk pantat gue...” katanya. Suaranya terdengar merana. Aku tahu rasanya terus terbayang-bayang sesuatu yang tak dapat hilang.

“...Iya... Iya gue juga kebayang-bayang sih...”
“Iya kaan!! Ayo donk, Dit... Pliss...” pintanya.

Ini gila. Sahabatku memintaku untuk meng-analnya. Cherry sudah terdengar seperti orang yang sangat horny sekarang, dan jujur, aku pun sudah berhari-hari onani sambil membayangkan penisku menghujam pantatnya yang seksi itu.

“Eh... Dari pantat ga bisa hamil ‘kan?” tanyaku.
“Ya nggak lah...” katanya, masih memelukku. “Lagian gue belon dapet... Tenang aja...”

Aku berbalik, menatap matanya.

“Lu bener-bener yakin?”
Tak menjawab, Cherry membuka retsleting rok biru SMPnya, dan menjatuhkannya ke lantai, menampakkan pahanya yang mulus dan celana dalam putihnya.

Aku bingung harus mulai dari mana.

“Eh... Yang... Di film itu kan...”
“Dari ciuman pertamanya...” kata Cherry.
“Ya...”

Kami bergerak perlahan, saling mendekat. Cherry mengalungkan tangannya di leherku dengan kaku, aku memegang pinggangnya yang langsing dengan canggung. Sesama pemula.

Aku melepas kacamataku dan mendekatkan wajahku ke arah wajahnya. Cherry memejamkan mata, menunggu. Dengan gemetar, aku menggerakkan wajahku semakin dekat ke wajahnya. Perlahan, bibir kami bersentuhan. Sensasi dingin aneh menjalar di tubuhku saat kami berciuman untuk pertama kalinya. Aku menggerakkan bibirku perlahan, menarik bibir bawahnya. Cherry membalas ciumanku. Hidungnya yang sangat mancung agak menggangguku.

Kami berciuman dengan sangat kaku untuk beberapa lama, tapi setelah beberapa saat, ketegangan mulai mencair. Aku mulai menyadari bahwa bibir atas Cherry lebih tebal dari bibir bawahnya, sehingga aku mulai melumat bibir atasnya dengan nikmat. Cherry mengikuti gerakan bibirku. Ciuman kami semakin panas, pelukan kami semakin erat. Perlahan, tanganku bergeser turun, meremas-remas pantatnya yang montok dan padat. Penisku sudah tegang sekali sekarang. Belum pernah aku meremas pantat Cherry sebebas ini.

“Mmh... Masuk aja tangannya, Dit...” katanya, melepas ciuman kami.

Aku menurut, kumasukkan tanganku ke dalam celana dalamnya. Kulit pantat Cherry mulus sekali. Aku meremas-remas pantatnya dengan nafsu. Empuk dan penuh sekali rasanya.

Cherry bergerak, mencium leherku. Aku merasa seperti disetrum aliran listrik. Kami merosot ke lantai, berbaring. Cherry di atasku. Kami kembali berciuman. Aku menjulurkan lidah ke dalam mulutnya, yang seketika itu juga langsung dibelit oleh lidahnya. Nafas kami semakin cepat. Decak lidah kami memenuhi gudang olahraga sore itu, seksi sekali.

Aku melepaskan ciuman. Benang ludah tipis menjuntai menghubungkan mulut kami. Nafas kami terengah. Cherry menatap mataku dalam-dalam dengan matanya yang sipit. Ia tersenyum, dan saat itu untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa Cherry adalah gadis yang sangat cantik.

“Lu cantik, Cher...” pujiku, jujur. Cherry nyengir. Aku juga baru menyadari bahwa giginya sangat rapi.
“Thank you...” bisiknya. Pipinya merona merah. Ia menunduk, mengangkat bagian bawah kaosku. Cherry membantuku membuka kaosku. Kami bertatapan lama sekali, kemudian mulai berciuman lagi. Kali ini lebih luwes dan dahsyat dari sebelumnya. Tanganku meremas pantatnya yang montok. Semakin kuremas, penisku serasa semakin tegang.

Kami melepas ciuman lagi. Cherry bangkit, menarik salah satu matras olahraga, meletakkannya di lantai, dan berbaring di situ. Aku bergerak, menindihnya dengan lembut. Cherry nyengir.

“Lu berat...” katanya sambil mencium pipiku.
“Heeh? Lu gue bilang cantik, lu bilang gue berat?” kataku, menggodanya. Cherry tertawa.
“Tapi enak koq, Sayang...” bisiknya lembut. Jantungku serasa berhenti berdetak tadi saat ia memanggilku ‘sayang’... Entah kenapa. Aku menciumi lehernya perlahan. Cherry memejamkan mata, menikmati.

“Sshh... Oohh... Dit... Mmhh...” desahnya.

Aku membuka kemeja putih seragam SMPnya perlahan-lahan. Cherry masih mengenakan miniset, dan dadanya masih hanya berupa tonjolan kecil di dadanya, tapi itu tak mengurangi nafsuku. Kubuka minisetnya perlahan, melemparnya ke sisi ruangan. Kujilat putingnya yang berwarna pink sangat muda. Cherry mengejang, mendesah nikmat.
“Mmh... Ditt...” bisiknya.

Cherry menarik celana pendekku hingga terbuka. Penisku yang sudah sangat tegang telah menyembul keluar dari celana dalamku. Cherry mengelusnya perlahan, enak sekali. Kami berciuman lagi. Tanganku kembali merogoh ke dalam celana dalamnya. Iseng, aku menggosokkan jari tengahku di belahan pantatnya. Cherry mengejang.

“Mmhh!!” desahnya. “Aahh... Dit... Gituin lagi...”

Aku menggosok-gosokkan jari tengahku di belahan pantatnya. Cherry terlihat sangat keenakan sekarang. Ia menciumku semakin dahsyat, membelit-belit lidahku. Tangannya mencengkeram rambutku. Aku semakin berani menggerakkan jemariku. Iseng lagi, aku berusaha menusukkan jari telunjukku ke dalam anusnya. Cherry mengejang lagi.

“Aaaahh!! Dit! Yes! YES DIT GITUIN! MASUKIN!” jeritnya. Cherry sepertinya sudah dikuasai nafsu. Perlahan, aku memasukkan telunjukku ke dalam anusnya. Sulit sekali.

“Aahh... Aaahhh!!” desah Cherry. Telunjukku akhirnya berhasil masuk, perlahan, aku mendorongnya semakin jauh ke dalam hingga masuk seluruhnya.

“Ooh... Ooh Dit... Nnhh...” desah Cherry tak karuan.

Aku memainkan jari telunjukku di dalam anusnya. Menarik, menusukkannya lagi, menariknya lagi, kemudian memasukkannya. Aku bahkan memutar-mutarnya perlahan di dalam anusnya. Tubuh Cherry bergetar hebat. Nafasnya memburu.

“Aaahh... AAAHHHH!!!!!” jeritnya tiba-tiba. Tanganku seperti disiram cairan dingin tiba-tiba. Cepat-cepat aku menarik tanganku keluar.

“Eh? Lu kencing?” tanyaku kaget.
“Aah... Hhh... Nggak... Nggak tau... Enak banget.... Ooh....” jawabnya tak karuan. Saat itu aku belum tahu apa itu squirting, sehingga kupikir Cherry baru saja mengencingi tanganku.

“Cher... Langsung aja ya?” ajakku. Aku tak mau tanganku dikencingi lagi. Cherry mengangguk, menelungkup di atas matras. Aku berdiri, bersiap di belakangnya. Cherry mengangkat pinggulnya, nungging ke arahku.

Aku jongkok, perlahan melepaskan celana dalam putihnya. Pantatnya yang bulat dan seksi sepenuhnya terpampang di depanku sekarang, juga vaginanya yang tak berbulu, yang sudah sangat basah.

Aku mengarahkan penisku ke anusnya. Aku gugup sekali. Belum pernah aku melakukan ini sebelumnya. Referensiku hanya film-film dan gambar-gambar bokep yang aku lihat sebelum ini.

“Eh, Cher... Lu... Lu yakin mau gue anal?” tanyaku, takut.
Cherry terdiam sesaat sebelum menjawab, dengan suara yang cukup mantap, “Ya.”

Aku menggerakkan penisku yang sangat tegang ke arah anusnya. Perlahan, kutempatkan kepala penisku di belahan pantatnya. Cherry mulai mengejang. Perlahan, sangat perlahan, aku menekankan kepala penisku ke anusnya. Cherry memejamkan mata, meringis. Aku menekankan penisku semakin kuat. Susah sekali.

“Ssshhh... D... Dit... Mmmhh...”

Aku menekankan penisku dengan tenaga yang lebih besar, sekuat tenaga. Tiba-tiba, kepala penisku masuk menembus anus Cherry. Keras sekali.

“AAAHHH... AAAAaaaaAAHHH!!!! AAAHH!!!” Cherry menjerit-jerit. Aku kaget, cepat-cepat menarik lepas kepala penisku dari anusnya. Wajah Cherry merah padam, tubuhnya gemetar hebat.

“Cher... Cher sorry... Sa... Sakit? Lu gapapa?” tanyaku panik. Aku takut sekali.
Cherry tak menjawab. Ia berusaha mengatur nafasnya. Tubuhnya gemetar.

“Ga...” jawabnya. Suaranya bergetar. “Gapapa... Lanjutin...”
“Be... Bener? Sory Cher...”
“Gapapa... Mmh... Be... ner... Mmmhh... Masukin... Lagi...”

Aku sangat takut, tapi nafsu pun telah menguasaiku. Tadi rasanya kepala penisku seperti disedot sangat kuat ke dalam pantatnya. Enak sekali rasanya. Aku memainkan penisku di belahan pantatnya yang empuk dan kenyal. Nafas Cherry menjadi bertambah cepat lagi.

“Masukin, yang...” desahnya. Getaran itu kembali menyerangku.

Kumasukkan perlahan kepala penisku ke dalam anusnya yang sangat merah. Lebih mudah sekarang. Perlahan-lahan kutusukkan penisku semakin ke dalam.

“Nnnhhhh... YESS!!! YES DIT! Masukiin...” desahnya tak karuan.

Aku menjadi semakin berani. Tanpa aba-aba, aku menghujamkan penisku kuat-kuat ke dalam anusnya. Tiba-tiba aku merasa seperti penisku disedot dan dijepit kuat-kuat ke dalam pantatnya.

“Oohhh... OOH Cherr... Cher... Enak banget!” kataku keenakan. Cherry tersenyum. Wajahnya masih merah padam. Ia menggerakkan pinggulnya perlahan-lahan. Mengerti maksud Cherry, aku pun mulai menarik penisku dari anusnya perlahan-lahan. Detik berikutnya aku menghujamkan kembali kuat-kuat penisku ke dalam anusnya. Tarik, masukkan lagi, tarik, masukkan lagi, begitu terus, semakin lama semakin cepat. Pandanganku semakin kabur. Kenikmatan menjalar, membelit seluruh tubuhku.

“Aaaahh... Aaahhh... Aaa... Mmmhh... Dit... Diii...TT!!” Cherry mendesah-desah keenakan.

Aku menghujamkan penisku semakin cepat. Entah kenapa setiap kali aku menusukkan penisku, seolah-olah pantatnya menyedot penisku semakin kuat. Aku tahu aku tak akan dapat bertahan lama seperti ini terus.

“Cher.. Cherr... Pantat lu... Ooohh.. Koq... Koq kayak nyedot gue...”
“Ga... Gatau... Aaahhhh... Lu... Mmmhhh... Lu enak bangett... Aaahhh... Tambah kenceng lagi, yang...” pintanya.

Aku memejamkan mata. Sensasi ketat dan kuatnya sedotan bagian dalam anus Cherry yang membungkus penisku, dipadu dengan empuk dan lembutnya daging pantatnya yang besar yang menghantam-hantam pinggangku sungguh tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku tak tahan lagi.

“Chhheeerr... Cherry... Gue... Gue mau... Ooohh... Gue mau kelu...arr...” kataku terbata-bata.
“Keluarin di.... Aaahh... Aaahhh... Mmmmhhh... Nnnhh... Di... Daleem...mmmhh!!” ujarnya tak karuan. Air liurnya menetes dari mulutnya, tampak kacau sekali. Cherry mengencangkan jepitan pantatnya lebih kuat lagi.
“Dit... Ja... Aaahh... Jangan keluar dulu... Aaahhh... Mau... Mau keluar... Juuga... Aaahhh...”
“Ga bisa... Ga bisa Cheeer... Cher... Aaahhh... AAHHH... CHER.... CCHHEERRYY!!!!”

Crroottt... Crroott... Cruooottttt!! Aku meledakkan spermaku berkali-kali di dalam anus Cherry. Pandanganku kabur sama sekali. Sensasi orgasme di dalam tubuh cewek yang sesungguhnya sungguh berbeda dengan orgasme saat onani. Penisku seolah tak mau berhenti meledakkan sperma. Tak sampai dua detik kemudian, Cherry menjerit dan squirting sekuat-kuatnya.

“OOOOHHHH!!!!! DDIIII.....TTTT!!!!”

Tubuhnya terkulai lemas di matras. Aku menarik lepas penisku dari dalam anus Cherry. Anusnya terlalu sempit untuk menampung ledakkan spermaku di dalam sana, sehingga cairan putih kental itu mengalir keluar dari anusnya, melumuri pantatnya yang bulat dan seksi, mengalir melalui pahanya yang mulus dan melumuri matras tempat kami berbaring, bercampur dengan cairan vaginanya yang meledak dari dalam dirinya sendiri.

Aku roboh di sebelah Cherry, terengah-engah. Tubuh kurus Cherry tergeletak lemas, gemetar hebat. Keringat membanjiri tubuh kami.

“Oh... Ooohh... Ditt... Diitt...” desahnya terputus-putus. Aku tak dapat menjawab. Tubuhku pun gemetar. Cherry tampak kedinginan. Aku menoleh, menatap wajahnya. Ia beringsut perlahan mendekatiku, mengecup bibirku lembut.

“Thank you...” bisiknya. Aku mengangguk. Tanganku bergerak, gemetar, mengelus rambut pendeknya.
“Enak banget...” kataku. Cherry tersenyum.
“Kapan-kapan lagi, yuk?” bisiknya. Aku nyengir, mengangguk setuju.

Kami terdiam. Menikmati desah nafas kami. Aku melirik arlojiku, setengah tujuh malam. Aku memeluk Cherry erat. Ia mendekat padaku, menatap mataku dalam-dalam.

“I love you, Cher...” aku berkata lebih dulu kali ini. Mukanya kembali meronah merah padam. Senyum lemah mengembang di wajahnya yang bersimbah keringat.
“I... Love you too...” bisiknya.

* * *

Sejak hari itu, kami hampir setiap hari melakukan anal. Dan tentunya, tak butuh waktu lama bagi kami untuk mulai ML “dari tempat yang tepat”, dan mulai mencoba berbagai macam teknik lainnya. Kami pun sempat berpacaran selama beberapa lama, namun entah kenapa kami menyadari bahwa kami lebih cocok menjadi sahabat dari pada sepasang kekasih.

Kami sangat sering ML, dan anal sex menjadi favorit Cherry. Setiap kami ML, ia selalu memintaku untuk meng-analnya. Kami bertumbuh besar bersama. Cherry tumbuh semakin feminim; rambutnya semakin panjang dan indah, kulitnya menjadi sawo matang, mulus dan eksotis. Cherry sungguh-sungguh menjaga bentuk tubuhnya agar tetap langsing ideal, dan tentu saja, pantatnya dari hari ke hari menjadi semakin besar dan bulat (saat aku menulis cerita ini, ukuran pahanya 40, dan sebagian besarnya adalah pantat) semakin empuk, padat, kenyal, dan anehnya, tetap sempit walaupun sangat sering kemasukkan penisku.

Pada awalnya kami tak memperhatikannya, tapi lama-kelamaan, Cherry menjadi penasaran karena cewek-cewek lain yang sering anal, anusnya menjadi semakin longgar. Akhirnya akhir tahun lalu kami mencoba untuk datang ke dokter untuk mengetahui secara pasti. Setelah serangkaian tes dan pemeriksaan, akhirnya dokter berkesimpulan bahwa Cherry memang memiliki kelainan di anusnya. Dinding anus Cherry memang sangat lentur, tidak seperti dinding anus orang-orang lainnya. Kelenturan anus Cherry hampir menyamai kelenturan vaginanya, sehingga Cherry seolah memiliki 2 vagina. Selain itu di sekitar anus Cherry terdapat banyak saraf yang sangat sensitif. Saat itulah baru aku mengerti kenapa Cherry sangat mudah terangsang ketika aku menggosok-gosok anusnya. Kami bertanya apakah ini akan mempengaruhi kesehatan Cherry, dan untungnya dokter berkata tidak ada efek apa-apa dari dinding anus Cherry yang lentur ini.

* * *

Musik berhenti. Sekali lagi, aula meledak dalam tepuk tangan. Keenam dancer di atas panggung mengakhiri penampilan mereka yang menakjubkan. Aku tersadar dari lamunanku, menatap Cherry yang berdiri di tengah. Tubuhnya berkeringat. Sorot matanya menyinarkan kepuasan karena penampilan tim dancernya yang luar biasa.

Penonton berangsur pergi meninggalkan aula. Masih dua jam lagi sampai pengumuman juara dilakukan. Aku menoleh ke arah Andrew. Cherry telah ada bersamanya, ngobrol seru tentang penampilannya. Tangan Andrew sembunyi-sembunyi meremas pantat ceweknya yang montok. Cherry hanya mengernyit kecil. Sesaat, mataku dan mata Cherry bertatapan. Aku mengangguk pelan, mengacungkan kedua jempolku dan tersenyum pada sahabatku. Ia tersenyum cerah, mengucapkan terima kasih tanpa suara kepadaku.

Aku berbalik, hendak pergi meninggalkan aula, ketika tiba-tiba handphoneku bergetar di kantong celanaku. Kuambil dan kulihat, sebuah SMS masuk. Dari Cherry...

Ntar mlm di rmh lu aj y?

Singkat. Aku menoleh ke arahnya. Cherry dan Andrew telah berjalan ke arah yang berlawanan arah denganku, tapi sekilas aku melihat Cherry mengerling dan mengedip ke arahku di balik rambut hitam panjangnya.

Aku tersenyum. Membayangkan apa yang akan kami lakukan di rumahku nanti malam sudah membuat celana panjangku terasa sempit di bagian tengah.

* * *

“Ooohhh YES! YES DIT! Harder!! Aaahhh...!!”
“Mmmhhh... Cherr... Mmmhhh...”

Malam itu, kami ML dengan sangat panas. Setelah menghabisi vaginanya, seperti biasa aku meng-anal pantat sahabatku yang luar biasa ini. The Foxes kembali menjuarai Modern Dance Competition, dan Cherry benar-benar mengeluarkan seluruh teknik terbaiknya malam ini untuk merayakan kemenangan timnya denganku.

“Cc...Cheer... Enak bangeet....”
“Aaahhh... Aahh.. Lu... Lu jug...aa...Hhhh...”

Sambil menghujam-hujamkan penisku ke dalam anusnya, pikiran tentang apa yang kudengar tadi siang kembali muncul di ingatanku.

“Cher... Cheer... Nnnhh...” panggilku sambil meremas dadanya dan memainkan putingnya dengan jemariku (ukurannya 34B sekarang, lumayanlah...).
“Hmmm? Aaahhh... Aaahhh... Dah... Dah mau... K...Kuar lagi? Aahh...” desahnya.
“Nggak... Aaahh... Cuma... Pengen nanya... Aah... Kenapa lu ga mau... Nnhh... Ga mau di anal sama... Nnhh... Andrew?” tanyaku, langsung ke sasaran.

Cherry tertawa sambil tetap mendesah. Aneh kedengarannya.

“Karena... Mmmhhh... Oohh... Oohh... Dit gue mau... Kelu...AARRR!!!!!” Cherry tiba-tiba menjerit dan squirting kuat-kuat. Aku belum puas, terus menghujamkan penisku ke dalam anusnya. Bunyi pantatnya yang menepuk-nepuk pinggangku menggema di kamarku yang dingin. Aku berganti meremas-remas pantatnya. Sensasi empuk dan padat yang selalu membuatku kangen dengannya.

“Karena apa... Mmmhhh....” tanyaku.
“Karena... Aahhh... Karena pantat gue... Nnnnhh.... Pantat gue...”
“Pantat lu? Mmmhhh....”
“Sebelon gue menikah... Pantat gue... Nnhhh... Aahhh... Cuma... Cuma boleh... Aaahhh...”
“Aahh... Cuma boleh... Apa... Cher?”
“Cuma... Nnnhhh... Cuma punya lu... Yang... “

Sebelum sempat ia mengatakan jawaban itu, aku sudah tak tahan lagi. Aku meledakkan spermaku sekuat-kuatnya ke dalam anusnya yang sangat sempit. Penisku menyemprot berkali-kali sebelum akhirnya berhenti. Ngilu rasanya.

Aku menarik lepas penisku, berguling ke sisi tubuh Cherry yang tertelungkup di atas ranjang. Ia menatap mataku, seperti berpikir. Aku kembali menanyakan pertanyaan yang tadi belum selesai dijawabnya.

“Sebelum lu menikah, pantat lu cuma boleh apa tadi?”
“Sebelum gue menikah...” jawabnya.
“... Iya?”
“Cuma punya lu yang boleh masuk ke dalem pantat gue...”

Penisku segera tegak berdiri lagi mendengarnya.

ACYS Characters Profile


Hai.. Setelah hampir 4 tahun serial ACYS dipublish pertama kali.. Saya baru sadar bahwa belum pernah ada 1 penjelasan khusus tentang setiap karakter dalam cerita ini. Pembaca terpaksa harus menebak-nebak dan membayangkan bagaimana sifat dan wujud tokoh-tokoh dalam cerita yang dicintai ini. Jadi, saya berencana menjabarkan profil setiap tokoh ACYS supaya para pembaca dapat lebih memahami cerita half-fiction ini sedikit lebih baik.

Seperti yang sudah banyak teman-teman ketahui, serial ACYS diilhami oleh pengalaman pribadi saya. In fact, kejadian dalam ACYS 1-4 benar-benar based on true story, sementara ACYS 5-7 dan extra ending adalah setengah-fiksi, dengan lebih banyak menambahkan unsur karangan (meski pada akhirnya pada kenyataannya dua gadis; sahabat dan adik penulis, yang menginspirasi tokoh Cherry dan Vany pun memang benar-benar mengandung anak dari penulis). Para tokoh yang dikisahkan pun diilhami dari teman-teman dan orang-orang yang ada dalam kehidupan penulis, tentu dengan nama dan karakteristik yang disamarkan. Nah, pada postingan ini, para pembaca dapat lebih sedikit memahami para tokoh dalam serial ACYS ini. Setiap tokoh akan dijelaskan dengan cukup detail, disertai dengan sedikit ilustrasi menggambarkan wujud para tokoh tersebut (menyusul). Selamat membaca!


1. ADITYA SAKAMOTO (The Brother) 
Jenis Kelamin: Pria
Umur: 18-19 tahun (ACYS 1-7), 22 tahun (Ending), 32 tahun (ACYS extra)
Etnis: Chinese Indonesian-Japanese
Tinggi: 180 cm
Berat: 79 kg
Ukuran Vital: 13cm (panjang saat tidak ereksi), 28 cm (panjang saat ereksi) / 6 cm (diameter saat ereksi)
Pekerjaan: Pelajar/Mahasiswa, Fotografer
Favourite Position: Titfuck, Submission
Kemunculan: Seluruh ACYS series 
Adit adalah tokoh utama serial ACYS. Sejak kecil Adit yang keturunan Chinese Indonesia dan Jepang berbakat di sepak bola, juga memiliki mata untuk fotografi, yang pada akhirnya menjadi pekerjaannya setelah dewasa. Sebagai kakak dari Vany, Adit berjuang melawan hasrat yang ada di hatinya terhadap adiknya yang sangat seksi itu sejak usia 16 tahun, walau ternyata kakak-beradik ini saling menginginkan satu-sama lain, dan pada akhirnya berhubungan seksual. Cowok agak pendiam ini bersahabat dengan Cherry, tetangganya sejak kecil, yang pada akhirnya menjadi istrinya. Walaupun bukan cowok paling tampan di lingkungannya, Adit dikaruniai alat vital yang cukup besar untuk ukuran Asia, dengan panjang maksimum 28cm saat ereksi. Pada akhir serial ACYS, Adit sudah memiliki 2 anak dari Vany, adiknya: Marcella dan Mario; 3 anak dari Cherry: Shinji, Yuri, dan Yuna (selain si kembar Yuri-Yuna yang diadopsi sepupu Cherry); dan bahkan Marcella, anak tertuanya, sedang mengandung anak biologis ke-8 dari Adit.

2. STEVANY SAKAMOTO (The Sexy Sister) 
Jenis Kelamin: Wanita
Umur: 14-15 tahun (ACYS 1-7), 18 tahun (Ending)
Etnis: Chinese Indonesian-Japanese
Tinggi: 158 cm
Berat: 50 kg
Ukuran Vital:
Dada: 34C (ACYS 1-3) / 32D (ACYS 4) / 34DD (ACYS 5-6) / 34F (ACYS 7-ending)
Pinggang: 28
Pinggul: 34
Pekerjaan: Pelajar, Gravure Idol
Favourite Position: Submission, Reverse Cowgirl
Kemunculan: ACYS 1-7 
Stevany adalah tokoh wanita utama dari serial ACYS. Vany adalah adik kandung Adit, 3.5 tahun lebih muda dari kakaknya. Sejak memasuki masa puber di usia 11 tahun, Vany menyadari bahwa dia memiliki payudara yang lebih besar dan bertumbuh lebih pesat dari teman-temannya. Pada usia 14 tahun, dadanya sudah mencapai ukuran dewasa 34C, dan puncaknya menjadi 34F saat ia berusia 18 tahun. Vany, tidak seperti kakaknya yang pendiam, sangat ceria dan polos, walau diam-diam cewek mungil ini juga menyimpan hasrat seksual yang tidak kalah hebat terhadap Adit, kakaknya. Gadis berkulit warna olive ini sangat berbakat di bidang basket, menjadi kapten tim SMP sekolahnya saat kelas 2 SMP. Pada akhir serial ACYS, Vany tetap tidak pernah berhubungan dengan laki-laki lain selain kakaknya, dan melahirkan 2 anak untuk Adit; Marcella dan Mario, pada usia 15 dan 18 tahun. Sejak 13 tahun, Vany yang memiliki kecantikan alami dan tubuh yang sangat seksi bekerja paruh-waktu sebagai model gravure yang cukup terkenal di Jepang, tanah air ibunya.

3. CHERYLIA SIGARLAKI FERNANDEZ / CHERRY (The Best Friend) 
Jenis Kelamin: Wanita
Umur: 17-18 tahun (ACYS 1-7)
Etnis: Indonesian-Mexican
Tinggi: 167 cm
Berat: 56 kg
Ukuran Vital:
Dada: 34B (ACYS 5-6) / 34D (ACYS 7)
Pinggang: 25
Pinggul: 40
Pekerjaan: Pelajar/Mahasiswa, Koreografer/Penari Profesional
Favourite Position: Anal, Reverse Cowgirl, Doggy Style
Kemunculan: Cherry series, ACYS 5-7 
Cherry, seorang koreografer dan penari profesional yang sangat handal, adalah cinta pertama, sahabat, dan akhirnya istri dari Adit. Cherry yang lahir di Miami, Floria, Amerika Serikat, pindah ke Jakarta pada usia 3 tahun, dan sejak itu bertetanggaan dengan kakak-beradik Adit dan Vany. Cherry pertama kali melepas keperawanannya pada Adit di usia 11 tahun, saat mereka berdua berhubungan seksual di gudang olah raga sekolah setelah sebuah pertandingan sepak bola, dan sejak hari itu memendam perasaan cintanya pada Adit. Sebagai blasteran Manado-Meksiko, Cherry memiliki semua penampilan fisik khas wanita Amerika Latin: Kulit sawo matang, rambut hitam panjang yang berkilau, wajah cantik dan hidung yang mancung... dan juga pantat yang montok, padat, dan seksi; hanya matanya yang sipit yang menunjukkan bahwa ia masih memiliki darah Asia. Gadis yang mula-mula tomboy ini memiliki kelainan di anusnya, yang membuatnya sangat lentur sehingga mampu menerima hujaman demi hujaman penis Adit sejak masih belia, namun tetap sempit dan kencang. Cherry menikah dengan Adit di usia 18 tahun, dan melahirkan 3 anak untuk suaminya: Shinji, Yuri, dan Yuna, selain si kembar Yuri-Yuna yang diadopsi oleh sepupunya.


4. MARCELLA AYAME SAKAMOTO (The First Daughter) 
Jenis Kelamin: Wanita
Umur: 3 tahun (Ending), 13 tahun (ACYS extra)
Etnis: Chinese Indonesian-Japanese
Tinggi: 150 cm
Berat: 43 kg
Ukuran Vital:
Dada: 30D (ACYS extra)
Pinggang: 23
Pinggul: 29
Pekerjaan: Pelajar
Favourite Position: Anal, Submission, Cowgirl, Doggy Style
Kemunculan: ACYS 7 ending, ACYS extra, Ella series (to be written) 
Marcella adalah anak pertama hasil hubungan incest antara Adit dan Vany adiknya. Sejak kecil, Ella sudah mengetahui hubungan ayah ibunya, dan terbiasa dengan 2 'ibu' yang mengasuhnya: Cherry dan Vany. Gadis kecil berkulit seputih susu ini mewarisi gen Vany, ibunya, dan sejak umur 9 tahun telah memasuki masa puber, hingga pada usia 13 tahun dadanya telah mencapai ukuran 30D. Ella yang menderita heterochromia iridium memiliki iris mata yang berlainan warna, yang kiri berwarna hijau, dan yang kanan berwarna biru tua; hal yang sama juga dimiliki adik kandungnya, Mario. Hanya sekilas dikisahkan di ending dan extra ending serial ACYS, Ella mulai berhubungan seksual dengan Adit, ayahnya, sejak berusia 9 tahun, dan pada usia 13 tahun telah 7 bulan mengandung anak dari ayahnya. Pada Ella series yang sedang dalam tahap penulisan, Ella akan berhubungan seksual juga dengan Mario, adik kandungnya, Shinji, adiknya dari Cherry, dan beberapa pria lain.

5. GRACE NATALIA LIN (The Ex-Girlfriend) 
Jenis Kelamin: Wanita
Umur: 18 tahun (ACYS 1-5)
Etnis: Chinese Indonesian
Tinggi: 175 cm
Berat: 60 kg
Ukuran Vital:
Dada: 34C
Pinggang: 26
Pinggul: 36
Pekerjaan: Pelajar/Mahasiswa, Interior Designer
Favourite Position: Doggy Style, Standing, Spooning
Kemunculan: ACYS 1-5 (mentioned), Grace series (to be uploaded) 
Grace, mantan pacar Adit semenjak 3 SMP hingga 3 SMA, adalah seorang interior designer sukses yang berdomisili di Sydney, Australia. Grace cenderung galak dan jutek saat pertama kali berkenalan dengan Adit di kelas 3 SMP, berbeda dengan Natasha, adiknya, yang walaupun serius tapi sangat ramah. Di balik wajahnya yang kaku dan tatapannya yang dingin, Grace menyimpan banyak kesedihan dan luka masa lalu, terutama karena ayah-ibunya yang bercerai saat ia masih remaja. Gadis berkulit kuning langsat dan berwajah cantik dewasa khas oriental ini bertubuh sangat tinggi, 175cm, dan adalah seorang pemain bola voli yang handal. Grace luluh akan kebaikan hati dan ketulusan Adit saat mereka duduk di kelas 3 SMP, dan akhirnya berpacaran dengan tokoh utama serial ACYS selama 4 tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya karena merasa tidak sanggup menjalani hubungan long distance; Adit pergi ke Singapura, sementara Grace ke Sydney, Australia. Grace adalah satu-satunya tokoh wanita utama yang tidak melepas keperawanannya dengan Adit, karena ia telah berhubungan seksual sejak berusia 13 tahun dengan mantan pacarnya saat masih tinggal di Australia sejak lahir hingga awal SMP. Adik Grace, Natasha, adalah sahabat Vany, adik Adit. Serial khusus Grace sedang dalam tahap akhir penulisan.
Sekian teman-teman profil para tokoh di cerita ACYS! :D Semoga berguna.

ACYS 7: Extra Ending (ELLA)




Rabu, 18 Mei 2022 – 5.45pm JST
Tokyo, Japan

“Mmmhhh!.... Mnggh!”
Kuremas pantat mungil yang montok itu.
“Aaahh... Nggh... Oohh.. Osoi.... Sh.. Shite kudasai (pelan-pelan...)”
Mulutnya yang mungil menganga, mengeluarkan desahan panjang.
“Nhhh... Mhh... ini s.... sempi... t... sekali... Mmhh!” ujarku, tercekat.
Tanganku meremas dadanya yang sangat bulat, 30D... Putingnya yang merah jambu tegak berdiri, menantangku untuk menjilatinya. Tubuh gadis mungil itu bersimbah keringat, bergerak naik-turun di atasku.
“Oohh... Ngghh... K... Kim.... Och... i... Enn.. ak banget...”
Vaginanya yang mulus tak berbulu membungkus penisku, menerima hujaman demi hujaman keras ke dalam rahimnya.
“Aahh.. Anghh... Annh... P.... Pa...”
Matanya setengah terpejam menikmati, tapi masih menampakkan irisnya yang biru dan hijau cantik.
“Aahh... Aah... P... Papiii...”
Marcella mendongak, memejamkan mata. Kuciumi lehernya yang kurus dan jenjang. Rambut hitam panjangnya tergerai, kontras dengan kulitnya yang sangat putih mulus seperti susu.
“Ell... Ella... Papi mau... Keluar... Ngh...” kataku, tertahan.
“Nggh?? Lagi...? Mmmnhh... Papi... Tung.. Tunggu.. Bentar... Nhh... Bareng...” kata Ella. Ciumanku pindah ke pundaknya, genjotanku makin cepat menghantam rahimnya.
“Nnnhh... Ga... Tahann... Ella.... Ell... ELLA... AAH...”
Kuledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Satu, dua, empat, enam, tujuh.. Tak berhenti-berhenti.
“Paapp... Pappii... NNGGH... AAHHHH!!!”
Ella orgame untuk yang kelima kalinya dan squirting sangat kencang hingga penisku terlepas dari vaginanya. Ella menyemprotkan cairan bening itu berkali-kali. Air susu juga menyemprot keluar dari putingnya. Ia terkulai lemas di atas ranjang, terengah-engah, memejamkan mata. Penisku masih tegak berdiri, masih meminta lagi.

“Hhh... Hh... Mmhh... Papiii... Masih mau lagii?” tanyanya lemas. Tapi mukanya merona merah segar. Aku tersenyum dan mengangguk. Ella menggeleng.
“Pantes dulu Mami Vany sampe mau sama Papi... Kuat banget...” katanya. Aku tertawa.
“Sampe sekarang juga masih mau,” belaku. Kukecup bibir anakku perlahan. “... Mami Cherry juga mau koq.”
“Papi sih parah loh...” kata Ella.
“Kenapa?”
“Udah ngehamilin adek sendiri... Dua kali, lagi...” katanya pura-pura merajuk. “...Terus anak sendiri di ML-in sejak umur 9 taon belom tau apa-apa... Sekarang sampe hamil segala...”

Aku tertawa. Kebelai perut Ella yang sangat buncit, tak sebanding dengan tubuh mungilnya dan wajahnya yang polos. Ella, anakku yang sekarang berusia 13 tahun, sedang 7 bulan mengandung anakku, ayahnya.
“Siapa suruh punya toket kayak gini...” kataku, meremas dadanya yang super bulat dan menggiurkan. Air susu mengalir dari kedua putingnya yang mungil. Ella mengernyit.
“Maminya aja kayak gitu...” belanya. Aku tertawa. Kucium bibir Ella, yang langsung memasukkan lidahnya, membelit lidahku.
“Tetep aja Papi yang parah...” katanya setelah melepas ciuman.
“Tapi kamu seneng di-parah-in... Parahan siapa hayo...” belaku.
Ella tertawa renyah, mirip sekali dengan tawa ibunya.
“Siapa suruh senjatanya 28cm gini...” balasnya sambil menatap mataku dalam-dalam. Kutatap mata anakku. Aku tak pernah berhenti menyukai matanya yang berlainan warna. Matanya selalu menyihirku.

“Ayo cepet, ah! Ntar kalo mami-mami pada pulang bisa-bisa minta ikutan... Papi ga kuat ntar...” ujarku, terlepas dari lamunanku.
Kubalikkan badan Ella perlahan hingga tertelungkup. Ella menungging otomatis. Kutepuk pantat mungil anakku yang putih mulus, kutusukkan penisku ke dalam anusnya, sempit sekali.
“Nnnnngghh.. Iihh... Papi...”

ACYS 7: Two Pregnant Girls


Jumat, 20 Maret 2009 – 14.52 SGT
Singapore

“Mmhh… Mhhh!! Hunny!”
“Oohh… Cher… Cherr… Nnhhh…”

Kutampar pantat Cherry yang super besar, kemudian kuremas kencang-kencang. Kenyal sekali rasanya. Cherry memejamkan mata erat-erat, menikmati. Aku menghujamkan penisku berkali-kali ke dalam anusnya yang super-sempit. Luar biasa.

“Nngggghhh… Aaahh.. Aaaahh sayang gue mau keluarrrr…”
“Lagi?? Mmhh… Ohh Cherryy…”
“Iyaaa… Iiiyaaa AAAHH!!!!”





Cherry orgasme untuk yang kelima kalinya siang itu, squirting kencang-kencang. Tubuh seksinya merosot ke lantai. Tapi aku masih belum puas; kucabut penisku dari anusnya, dan segera kuhujamkan ke dalam vaginanya. Cherry mengerang dan mendesah nikmat. Kuangkat tubuhnya perlahan hingga terduduk di pangkuanku, dan aku pun mulai menggerakkan pinggulku naik-turun.

Siang itu aku dan Cherry sahabatku sedang ML di ruang latihan tari di kampusku. Entah kenapa seusai kuliah tadi kami sangat ingin ML, maka kami pergi ke ruangan ini, sekalian menunggu jam latihan tari Cherry sekitar pukul setengah empat sore nanti.

“Mmmhhh… Diittt… Pelann… Pelann… Ngghhh…” kata Cherry. Tangannya mengelus perutnya yang buncit.

Yap, sahabatku ini sedang hamil 5 bulan. Anakku, anak-anakku tepatnya, karena janin yang ada di dalam rahimnya ini kembar. Ah, terlalu panjang jika kuceritakan di sini semuanya.

Kuremas dadanya (34C, lumayan… Sejak hamil dada Cherry terus membesar), kumainkan puting susu sahabatku dengan jemariku. Kuciumi perlahan lehernya yang kurus jenjang. Cherry menjadi bertambah cantik sejak hamil; kulitnya yang sawo matang mulus sekali menjadi tambah halus dan mulus, dadanya menjadi bertambah besar dan kencang, perutnya yang buncit seksi sekali, dan yang jelas pantatnya yang memang sudah pada dasarnya montok dan seksi menjadi bertambah besar dan menggiurkan.

Hujamanku semakin kencang dan kuat ke dalam vagina Cherry. Tanganku merogoh ke bawah, meremas-remas pantatnya yang super montok. Aku hampir klimaks. Tangan kanan Cherry menopang perutnya yang buncit.
“Aaahhh… Aaahh.. Mmmmhhh… Mmnnhh.. Nnhh…” Cherry mendesah tak karuan.
“Cherr.. Cherr gue mau keluar!! Mmmhh!!!” desahku, tercekat.
“NNgghhh keluarr…inn…. Aaahh…”
“MMMMMMHHHH!!! CHERRYY!!!”

Kucabut penisku dari vaginanya dan kuledakkan spermaku di wajah cantik sahabatku. Cherry memejamkan mata, membuka mulutnya lebar-lebar menerima bulir demi bulir cairan putih kentalku. Cherry menggenggam penisku, dijilat dan disedotnya sisa spermaku hingga bersih. Enak sekali.

Aku bersandar lemas ke dinding ruang latihan. Cherry terengah, duduk bersandar perlahan. Tubuhnya yang sedang hamil bersimbah keringat.
“Great… Cumshot pas gue mau latihan,” katanya bercanda. Aku tertawa, mengambil celana dalamku dan memakainya.
“Ah lu suka aja,” jawabku. Cherry nyengir dan berdiri goyah, mengambil pakaiannya.
“Ntar malem jadi di tempat lu?” tanyanya. Aku mengangguk. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Sejak pagi⎯ralat, sejak tengah malam⎯kejutan demi kejutan menyenangkan telah kuterima dari Vany, teman-teman kampus, dan sekarang Cherry, dan malam ini kami akan makan malam dan merayakannya di apartemenku.

“Bantuin masaknya ya, Cher,” pintaku sambil mengancingkan celana jeans. Cherry masih telanjang bulat.
“Pastinya… Ah tapi Vany kan jago banget masak,” jawab Cherry sambil mengelap mukanya dengan handuk.
“Hahaha tapi lagi hamil 8 bulan gitu kasian juga sih sendirian,” kataku. Cherry mengangguk setuju. Betul, Vany sedang hamil 8 bulan. Anakku juga. Pasti teman-teman pembaca sudah tahu betul ceritanya.
“Lu bantuin dulu deh sebelom gue dateng,” kata Cherry. Aku mengacungkan jempolku.
“Eh lu pake baju lah!” ujarku. Cherry terbahak.
“Iyaa iyaa.. Kenapa, nafsu lagi ya kalo liat gue bugil gini terus?” godanya. Cherry mendekatiku dan memelukku, kemudian berbalik.
Kupeluk sahabatku dari belakang, kukecup ubun-ubun kepalanya.

“I love you, Cher…” bisikku. Cherry tersenyum.
“Love you too…” Ia berbalik, mencium bibirku dengan lembut.
“Hmm… Apa mau pacaran aja kita?” kataku sambil mengelus perutnya yang buncit. Cherry nyengir, pipinya merona merah.
“… Ah tapi gue harus share cowo gue ma Vany,” bisiknya, pura-pura merajuk. Aku tersenyum, kupeluk erat sahabatku.
“Lu udah kayak cowo gue koq, Dit… Dari dulu,” kata Cherry. “Cuma masalah status aja.”
“Gimana kalo diresmiin aja?” desakku. Sahabatku ini nyengir. Pipinya jelas-jelas merah padam. “Ini juga anak-anak gue kan, Cher…” tambahku, mengelus perut buncitnya.
Cherry nyengir, melepas pelukanku dan mulai memakai pakaiannya.
“Gimana kalo kita bicarainnya di tempat yang lebi enak?” katanya. Aku terkekeh.
“Ya-ya, Cher… Masa di ruang nari gini plus abis ML,” ujarku.
“Hahahah abis MLnya sih gapapa…” kata Cherry, selesai mengenakan kaos gombrongnya, kontras dengan legging super-ketat warna abu-abu yang dipakainya, membentuk paha dan pantatnya yang super seksi itu.
“Hahahaha dasar lu…”

Kudekati sahabatku yang cantik ini. Kupeluk lagi ia dari belakang. Kuelus perutnya yang buncit. Cherry menunduk, memegang tanganku.
“Gimana akhirnya sepupu lu yang mau adopsi mereka?” tanyaku. Seminggu lalu Cherry berkata bahwa ada kakak sepupunya yang sudah menikah tapi masih belum dikaruniai anak, sehingga saat mendengar bahwa Cherry hamil, mereka memutuskan untuk mengadopsi anak-anak kembar ini.
“Lusa baru bisa ketemu sama sepupu gue itu…” jawab Cherry riang. “Mau ikut?”
“Pasti ikut. Anak gue gitu,” jawabku. Cherry tertawa.
“Udah pulang sana… Ntar Vany nungguin loh,” katanya sambil mendorongku. Aku nyengir dan berjalan, menggandeng Cherry yang membimbingku ke pintu keluar.

Sebelum aku membuka pintu, Cherry mengecup pipiku.
“Gue bener-bener sayang sama lu,” bisiknya di telingaku. Entah kenapa aku merasa pipiku merona.
Aku nyengir, menunduk, mengecup perut buncitnya.
“Papi pulang dulu…” Cherry terbahak melihat tingkahku.
“Byee… Thanks arlojinya,” ujarku sambil meremas pantatnya yang montok. Cherry mengernyit.
“Masih aja ya...!” ujarnya sambil menjulurkan lidah. Aku tertawa dan berjalan pergi.

Saat berjalan pulang, aku berpapasan dengan teman-teman Cherry sesama penari. Beberapa yang mengenalku menyapaku riang, mengucapkan selamat ulang tahun. Aku berjalan ke bus stop di dekat kampus dan duduk menunggu bus yang akan membawaku pulang ke rumah. Siang itu panas sekali. Cuaca di Singapura aneh sekali. Sekarang panas sepert ini, nanti malam bisa-bisa hujan lebat dan super dingin. Ku keluarkan kacamata hitamku.

Busku datang. Aku naik dan menemukan tempat duduk dekat jendela. Aku terdiam, tapi pikiranku berjalan… Betapa bedanya respon orang-orang di Singapura pada kehamilan Cherry disbanding dengan orang-orang di Jakarta pada kehamilan Vany. Cherry dan aku mendapat ucapan selamat yang melimpah dari teman-teman kuliah dan dosen-dosen, dan di tim tarian pun Cherry yang tidak bisa ikut menari bersama teman-temannya lagi justru diangkat menjadi asisten koreografer karena kemampuan koreografinya yang memang luar biasa. Sementara adikku Vany, harus pindah kesini untuk menutupi masalah. Beda sekali.

Aku melirik arlojiku. Setengah empat sore. Sedang apa ya Vany di rumah? Sejak bulan Januari lalu Vany pindah ke sini dan tinggal bersamaku. Untuk mengisi waktu Vany mengikuti kursus bahasa Mandarin, kursus membuat cake, dan sebagainya. Di samping itu, yang membuatku senang, Vany setiap hari mengeluarkan keahliannya memasak, dan selalu memasak makanan yang enak-enak buat kakaknya⎯dan Cherry yang seringkali main ke apartemen kami⎯dan tentu saja hampir setiap hari kami menyempatkan diri untuk ML. Semakin besar kandungannya, nafsu Vany pun semakin besar. Luar biasa.

Ella tumbuh dengan sehat dalam kandungan Vany, masih diselingi terapi setiap 3 hari sekali untuk mengurangi resiko cacat pada Ella karena anak hasil hubungan inses (dan syukurlah dokter terus berkata bahwa kemungkinan cacat hanya 0,5%), dan sekarang sudah memasuki bulan kedelapan kandungannya. Perut adikku benar-benar buncit sekarang, yang entah kenapa dalam pandanganku seksi sekali.

Aku merogoh tasku dan menutupkannya pada pangkuanku. Astagah, bahkan memikirkan perut Vany yang buncit dan mulus saja membuatku tegang lagi… Padahal baru sekitar setengah jam yang lalu aku meledakkan spermaku tiga kali saat ML dengan Cherry. Kacau ini.

Bus sampai ke depan apartemenku. Aku berjalan masuk dan segera menaiki lift ke lantai 10 tempatku tinggal. Kubuka kunci pintu apartemenku, sepi sekali.

“Vany sayang… Kakak pulang…” ujarku. Tak ada jawaban.
“Vaaan…?” panggilku. Aku berjalan ke arah dapur. Beberapa sayur telah dipotong rapi dan diletakkan di atas piring. Ada beberapa kantong berisi belanjaan dari pasar dan supermarket, tapi tak ada adikku di sana.
“Van? Sayaaang…?”

Aku sampai di depan pintu kamarku dan Vany. Hawa dingin menguar dari celah di bawah pintu. Oh, Vany di dalam rupanya.
Kubuka perlahan pintu kamarku. Benar saja, adikku sedang tertidur lelap di ranjang kami. Wajahnya yang sangat imut terkulai di atas bantal. Tangannya memeluk guling. Rambut hitamnya yang sebahu agak awut-awutan, tapi adikku ini tetap terlihat cantik sekali. Tersenyum, aku duduk perlahan di sisi ranjang, membelai rambut dan membetulkan selimutnya. Kukecup perut adikku yang sangat buncit, kemudian kutinggalkan kamar, membiarkannya tertidur.

Aku berjalan ke ruang tengah, duduk di sofa, hendak menyalakan laptopku, mengecek facebook. Tiba-tiba mataku terantuk pada secarik kertas kecil yang tergeletak di atas meja, ditindih remote control TV. Kuambil kertas itu.

Kakak sayang,
Aku tidur dulu ya... Tadi abis dari pasar n supermarket capek.
Jam 4 bangunin aku ya Kak.
Luv,
Vany.

P.S: Bangunin na jangan nakal. :-P

Justru kalimat terakhir itulah yang membuatku berpikiran jahil. Kulirik arlojiku, jam 4 tepat. Nyengir nakal, aku berjalan kembali ke kamar.

Vany masih terlelap, terlentang di atas ranjang. Dadanya yang super besar bergerak naik-turun seirama dengan perutnya yang sedang hamil 8 bulan, bernafas tenang. Aku duduk di sebelahnya, mengusap perut buncitnya perlahan. Vany tetap pulas.
Perlahan, kubuka kancing piyama pinknya. Satu-dua-tiga-empat-lima... Yak terbuka semua. Kubuka piyamanya, perlahan, hati-hati sekali, jangan sampai ia terbangun... Vany tidak memakai BH... Astagah aku tak pernah bosan akan dada adikku; luar biasa besar (ukurannya 34F sekarang... Bahkan bertambah besar 1 cup lagi dalam 3 bulan ini), mulus, bulat penuh, montok—entah kenapa tidak ada tanda-tanda menurun sedikit pun, dan sekarang tentu saja penuh susu yang nikmat. Putingnya yang coklat tua sempurna sekali. Baru tadi pagi kusedot susu banyak-banyak dari dalamnya sebelum berangkat kuliah.
Aku menegakkan diriku, memandangi tubuh mungil Vany; sempurna sekali. Perutnya yang bulat dan sangat buncit mulus sekali tanpa bekas stretch-mark sedikit pun. Vany jelas bertambah gemuk sejak hamil, tapi entah kenapa justru aura kecantikan dan keseksian adik kecilku ini semakin bertambah kuat.

Dengan lembut, kuremas dada Vany. Enak sekali, lembut dan penuh di tanganku. Vany menggeliat, tapi masih terlelap. Telunjukku memainkan kedua putingnya. Kurasakan putingnya mengeras, menegang; Vany memang sangat mudah terangsang sejak hamil.
Kudekatkan kepalaku, dan mulai menjilat, menyedot putingnya dengan lembut, sambil terus meremas dadanya, semakin kuat. Susu yang nikmat segera menyembur keluar. Kumainkan puting kirinya yang sangat sensitif dengan lidahku, kujilat, kusedot susunya.

“Mmmh...” Vany mendesah perlahan dalam tidurnya.

Kusedot semakin kuat putingnya. Semakin banyak air susu keluar. Tanganku membelai perut buncitnya. Penisku sudah tegang sekali, sakit rasanya tertahan celana dalam dan celana jeansku.

“Ngg... Mmhh...” desahan Vany semakin terdengar jelas.

Kembali kuremas-remas dada adikku, kali ini dengan nafsu walau tetap lembut. Vany menggeliat lebih kuat. Tanganku merogoh ke dalam celananya, mengusap lembut vagina adikku... Agak basah.

“Mmhh... Nghh... Kaak?” kata Vany setengah mengantuk.
“Bangun Van...” kataku sambil nyengir. “Udah jam empat.”
“Mmmm? Iyaa...” Vany menunduk, melihat apa yang kulakukan untuk membangunkannya. “Iiii... Kakaaak... Uda dibilang banguninnya jangan nakal aaa... Ini malah nakal banget!” ujar Vany setengah kesal. Tapi bibirnya membentuk senyum manis.
“Hehehe abis kamu seksi banget sih... Tidur aja seksi...” belaku. Vany tertawa renyah.
“Aa... Kakak...”

Kuremas-remas dadanya dengan lebih kuat. Air susunya menyemprot, mengalir keluar. Perlahan, kukecup dada adikku, bergerak turun ke perut hamilnya. Kecupanku lembut di atas perutnya yang mulus. Vany tersenyum.

“Kakak suka banget sama perutku...” bisiknya. Aku mengangguk setuju.

Kubuka celana panjang piyamanya, celana dalam hijau muda berenda Vany sudah agak basah. Tersenyum, kubuka juga celana dalam adikku perlahan-lahan. Vaginanya yang tembem dihiasi bulu yang sangat tipis, membuatnya bertambah seksi. Vany telah membuka kemeja piyamanya, sehingga adikku telah telanjang bulat sekarang, terlentang di atas ranjang.

“Ayo tanggung jawab...” katanya. Aku terbahak.
“Ih nafsu banget deh...”
“Iiii kakak itu yang nafsu aku bangun-bangun langsung di ML-in!” ujarnya tak mau kalah.
Tertawa, aku merunduk, menciumi dan menjilati vagina adikku. Vany menggeliat, mengejang. Kujulurkan lidahku, menjilati bagian dalam vaginanya.



“MMhh... Aahh... Kaakk...” desahnya.
Kusedot klitoris Vany yang menonjol. Kedua tangan Vany mencengkeram seprei. Jelas nikmat sekali. Aroma segar vaginanya yang basah memenuhi inderaku.

“Aahhh.... Kaakk.... Mmmhh.... Nhh...”

Aku bergerak naik, kuciumi perut buncitnya sambil kubelai lembut. Bibirku naik menyedot putingnya, meminum susu yang nikmat. Tangan kananku merogoh ke bawah, kumasukkan tiga jemariku ke dalam vagina Vany, yang langsung mengejang.

“Nggghh!! Kaakk.. Aaa... Kaakhh... Aaahh... Aahh...” desahnya seru.

Kecupanku naik ke lehernya yang kurus, Vany memejamkan mata, menggigit bibirnya menahan nikmat. Semakin naik, kulumat bibir mungil adikku. Vany segera membelitkan lidahnya dengan lidahku. Jemariku bergerak semakin cepat, menusuk-nusuk vaginanya. Cairan vaginanya bermuncratan keluar. Muka Vany memerah.

“Aaahhh!! Aahh.. Kakkk.. Kaaakkkk!!” desahnya. Aku tahu tak lama lagi Vany akan keluar.
“Ayo, Van... Keluarin...”
“NNggghhh... Kaaakk....” Vany mencengkeram lenganku. Suara ‘crek crek crek crek’ jemariku yang menghujam vaginanya semakin terdengar, semakin basah.
“Aaahhh... KKAAAKK!! MMMMMMNnnnhhhh!!!”

Kucabut tanganku dari vaginanya. Vany squirting; satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh... Semburan demi semburan cairan keluar dari dalam vaginanya. Vany terkulai lemas di ranjang. Matanya terpejam, nafasnya terengah, tubuhnya gemetar dampak orgasmenya yang hebat.

“Nnnnhh... Kaa..kk.... Ngac...oo...” bisiknya, gemetar. Kukecup bibir adikku lembut, menenangkannya.
“Kakakku ini super nakal...” katanya lemah. Aku nyengir. “Harus dihukum...”
“Heh? Dihukum gimana?” tanyaku, tersenyum lebar. Vany nyengir.
“Ayo buka celananya!” perintahnya. Aku tertawa, menurut. Kubuka celana jeansku. Penisku yang sudah sangat tegang langsung menyembul keluar. Ujungnya telah basah.
“Sini...” kata Vany, perlahan menegakkan diri hingga terduduk, menepuk perlahan perutnya yang mulus dan sangat besar. Aku berlutut di depan adikku, Vany menggenggam penisku, dan segera mengulumnya dengan nikmat. Sensasi lembut bibir Vany yang mungil membungkus penisku, enak sekali.

Kepala Vany bergerak maju-mundur menyedot penis kakaknya. Aku memejamkan mata, benar-benar enak sekali. Lidahnya bergerak nakal di bagian bawah penisku.
“Mmhh.. Vann... Enak... Bangett...” ujarku menikmati. Vany menyedot dengan sangat-sangat lembut, semakin lama semakin kencang dan kuat.
Vany mengulum penisku hingga ke pangkalnya, kemudian dengan amat sangat perlahan menarik mulutnya hingga ke kepala penisku yang berdenyut-denyut rasanya. Dibiarkannya penisku keluar perlahan-lahan dari celah mungil bibirnya yang lembut, kemudian Vany menjilati penisku dari kepala hingga pangkalnya. Aku benar-benar tidak tahan.
“Vaann... Maauu kk.... keluarr...” kataku terbata.

Tapi saat sedikit cairan kental keluar dari kepala penisku, Vany mengangkat kedua dadanya yang super besar dan montok itu, diselipkannya penisku diantara belahannya. Kelembutan dan kekenyalan dada adikku membungkus penisku, yang entah kenapa menahan semburan spermanya.
Vany menekan, memijat penisku dengan dadanya. Susunya mengalir perlahan setiap kali Vany menekan dadanya yang besar lebih kencang lagi membungkus penis kakaknya. Tanpa sadar pinggulku bergerak maju-mundur. Jika ada satu hal yang dapat membuatku kehabisan kata-kata untuk menjelaskan kenikmatannya, itu adalah titf*ck dari adikku Vany.
Gerakan pinggulku semakin kencang. Bagian bawah penisku tertekan perut buncitnya yang keras. Kulihat kepala penisku hilang-timbul dari belahan dada Vany. Aku sungguh-sungguh tak tahan.

“Nnggghhh... Mmhh... Vaann.... VVVAANN....NNYY!!” seruku.
Spermaku meledak bertubi-tubi melumuri wajah imut adikku. Vany telah mengangakan mulutnya lebar-lebar, sehingga bulir demi bulir cairan kentalku menyemprot ke dalam mulutnya. Rasanya lama sekali baru penisku berhenti menyemprotkan sperma, dan saat berhenti, kulihat wajah, poni, leher, dan dada Vany telah berlumuran sperma kakaknya.

Aku terduduk, kujatuhkan tubuhku ke belakang hingga terlentang. Penisku rasanya ngilu sekali. Ini ejakulasi kelima hari ini; sekali tadi pagi dengan Vany, tiga kali dengan Cherry tadi siang, dan yang barusan ini. Tiba-tiba aku merasa ngantuk sekali.

“Ah Kakak kebanyakan sih ama Cherry tadii...” ujar Vany manja, menelungkup di atasku; perutnya yang buncit menekan penisku. “Jadi udah lemes deh sama aku... Harusnya disimpen aja.”
Aku tertawa. “Hahaha ntar sore juga udah kuat lagi... Kakak boleh tidur dulu ga?”
Vany nyengir dan mengangguk. “Aku mandi trus siapin buat masak dulu deh... Kakak ntar bantuin kan?”
“Yup. Cherry juga koq,” kataku. “Kakak tidur sejam deh...”
Vany mengecup bibirku dengan lembut.
“Sleep tight, Sayang...” bisiknya. Aku tersenyum, memejamkan mata.

* * *

Aku terbangun karena aroma masakan Vany. Kulirik jam di dinding... Setengah 6 lebih sepuluh menit. Cherry akan datang pukul 6 sepertinya. Aku beranjak dari ranjang, masih dengan sedikit lemas aku berjalan keluar kamar, mencari adikku.
Aku berjalan ke arah dapur, tapi aku tidak menemukan adikku. Panci-panci sudah dimatikan apinya, hanya uap yang masih menguar dari balik penutup panci, menyebarkan aroma khas sup kacang merah buatan adikku. Aku tersenyum, bahkan wangi sup-nya pun sudah sama dengan wangi sup buatan ibuku. Kulirik tudung saji di atas meja, menyembunyikan beberapa piring hidangan nikmat olahan Vany. Hatiku tergoda untuk menyicipi salah satunya, tapi menahan diri karena tak ingin merusak kesenangan menyantap bersama makan malam dengan Vany dan Cherry.
Aku menguap, masih mengantuk... Kubuka lemari es untuk mengambil sebotol minuman isotonik. Masih mengantuk, aku berjalan kembali ke kamar sambil meminumnya. Di mana Vany?
Terduduk di ranjang, kembali meneguk minumanku, aku menoleh dan melihat sehelai t-shirt warna hijau tergeletak di sisi ranjangku. Astagah... Tentu saja Vany mandi. Rupanya tadi aku terbangun belum sadar betul sehingga tak menyadarinya. Sekarang aku bisa mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Aku segera berdiri, melepas pakaianku dan berjalan masuk ke kamar mandi, berniat mandi bersama adikku. Namun aku tertegun saat masuk.

Kutemukan bukan hanya Vany di dalam ruangan shower, tapi juga Cherry sahabatku. Dua cewek super seksi ini sedang mandi bersama, saling mengusap tubuh satu sama lain, meremas dada, pantat, dan saling mengecup leher dan bibir satu sama lain dengan perlahan... Dan tentu saja saling mengusap perut buncit mereka satu sama lain. Penisku langsung tegak berdiri menatap pemandangan seperti itu.

“Wow...” kataku.




Sahabatku dan adikku menoleh, dan ketika melihatku langsung nyengir senang sekali. Wajah imut Vany merona sedikit.
“Akhirnya lu bangun juga!” ujar Cherry.
“Wa... Koq.. Koq bisa...” kataku terbata. Cherry terbahak. Vany semakin merona.
“Mmm... Tadi aku lagi masak... Cherry dateng, terus bantuin... Terus abis masak keringetan... Terus mandi deh,” jelasnya polos.
Aku nyengir. Adikku ini lucu sekali. Ngomong sangat polos padahal satu tangannya masih terletak di dada Cherry, yang lain di atas perut buncitnya.
“Boleh gabung?” tanyaku.

Cherry tak menjawab, hanya berjalan keluar dan menarikku masuk ke dalam ruangan shower. Agak sempit rasanya sekarang... Dipenuhi 3 orang. Tapi aku tak peduli. Saat pancuran air hangat menyentuh tubuh kami, aku teringat saat pertama kali Vany melepas keperawanannya... Sore hari di bulan Juli yang lalu, mirip seperti sekarang. Bedanya hanya sekarang ada satu cewek lagi, membelai punggungku perlahan, perutnya mengusap punggungku perlahan. Enak sekali.

“Gue mandiin ya, Dit...” bisik Cherry. Tangannya mulai mengusap dada dan perutku dari belakang. Aku memejamkan mata, menikmati. Rupanya Vany tak mau kalah.
“Kak... Mandiin aku donk...” pinta Vany manja. Aku terbahak.
“Nakal kamu...” bisikku. Vany menjulurkan lidah, menyerahkan botol sabun cair kepadaku. Tersenyum, aku mulai menggosokkan sabun ke badan adikku dengan lembut, mulai dari lehernya yang agak gemuk sekarang, pundak, dan punggung...
Perlahan tanganku meraba dadanya yang super besar dan kencang, kuremas dadanya dengan lembut. Jemariku memainkan dan memelintir puting Vany yang keras... Menyemprotkan susu ke arah kaca yang membatasi ruang shower. Vany memejamkan mata, menikmati sentuhan kakaknya. Tangan Vany bertumpu pada kaca pembatas.

“Mmhh.. Kaak...” desahnya pelan. Uap mengembun di kaca, keluar dari mulut adikku. Kucium leher dan pundaknya perlahan. Tanganku bergerak turun, melumuri perut adikku yang buncit dengan sabun. Aku suka sekali dengan perut ini... Aku tak menolak perut adikku yang rata dulu sebelum dia hamil, tapi entah kenapa semakin besar perutnya, semakin seksi menurutku. Sesekali aku menoleh ke belakang untuk melumat bibir Cherry.
Cherry terus membelai tubuhku, menciumi pundak dan punggungku. Ini enak sekali. Tangannya yang lembut mulai memegang penisku... dan mengarahkannya ke pantat Vany. Aku nyengir, menoleh. Cherry mengedip padaku. Cherry menyelipkan penisku yang sangat tegang di belahan pantat Vany yang sangat montok. Tanganku bergeser ke pinggulnya yang melebar, sudah siap melahirkan. Aku mulai bergerak maju-mundur, menggesekkan penisku di antara kedua bongkahan pantatnya yang empuk.
“Kaakk... Ga mau disimpen buat ntar malem aja?” ujar Vany lemah.
“Hmm... Masih kuat koq...” kataku. Vany hanya tersenyum manis, memejamkan mata. Perlahan, kumasukkan penisku ke dalam anusnya, dan mulai menggenjotnya dengan nafsu. Sempit, hangat sekali.
“Mmh... Mnghh.. Ngh... Hh.. Kaakk... Kakk...” desah Vany tiap kali penisku menghujam tubuhnya. Pantatnya yang tebal dan besar menepuk-nepuk pingganggku. Kuremas dada Vany kuat-kuat, memeras susunya semakin banyak keluar. Hujamanku semakin kencang. Cherry mencium dan menijlati leherku dari belakang, jemarinya memainkan putingku. Aku tak tahan, aku siap keluar.
“Vann.... V... Vannny... Nggghhh!!!”
Kuledakkan spermaku berkali-kali dalam anus Vany. Gemetar, Vany berbalik, mencium bibirku dengan nikmat. Tangannya membelai penisku yang masih tegang, masih meminta lagi. Kupegang perutnya yang mulus dan besar, enak sekali.
“Eeh... Giliranku sekarang...” kata Cherry tak mau kalah. Vany mengerucutkan bibir, pura-pura merajuk, tapi ia membalikkan badanku menghadapi sahabatku yang super cantik, yang sudah berlutut di lantai ruang shower menghadapi penisku, dan seketika itu juga memasukkannya ke dalam mulutnya. Aku memejamkan mata. Sekarang giliran Vany yang menggosokku dengan perut buncitnya yang super mulus. Cherry bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya berulah di bawah batang penisku. Enak sekali. Vany menjilati leherku. Gila... Threesome seperti ini benar-benar luar biasa.
“Mmmm... Sllrppp... Sllrppp....” Cherry berisik menyedot penisku. Bibirnya yang cukup tebal membungkus penisku dengan sempurna. Benar-benar enak.
“MMhhh.... Cherr... Ngh...” desahku... Aku tahu aku tak dapat bertahan lama dibeginikan terus... Tapi Cherry tiba-tiba melepaskan sedotannya, berdiri perlahan, membalikkan badannya ke arah tembok. Tangan kirinya masih memegang penisku, membimbingnya ke arah vaginanya.
Tak menunggu disuruh dua kali, segera kuhujamkan penisku ke dalam vagina sahabatku. Kedua tanganku meremas erat-erat pantat yang sampai hari ini menurutku masih pantat termontok dan terindah di muka bumi (well... Di samping pantat Kim Kardashian atau selebritis mancanegara lainnya), yang semakin bertambah besar karena kehamilannya. Pinggulku bergerak maju-mundur, menghujamkan penisku kuat-kuat ke dalam rahim Cherry yang sedang mengandung anak kembarku.
“Oohh.. Oohh... Aangghh... Nhh... NNnnhh...” desahnya tak karuan tiap kali penisku menghujam ke dalam tubuhnya.
Vany berjalan perlahan ke depan Cherry, memegang kedua lengannya yang bertumpu ke dinding, mengalihkannya ke atas perut Vany. Cherry menegakkan diri, melumat bibir adikku dengan nafsu. Tangannya meremas dada Vany kuat-kuat, menyemprotkan susu dari dalamnya. Vany dan Cherry berciuman dengan sangat hot, saling membelitkan lidah.
Genjotanku semakin kuat. Aku semakin terangsang melihat adik dan sahabatku saling berciuman. Vagina Cherry seolah semakin lama semakin menyempit. Setiap kali Vany mencubit putingnya, vagina Cherry menjadi lebih sempit lagi. Ini enak sekali.
“Mmhh... Vann... Cherr.... Nngghh...”
“Ngh... Ngh... Ngh... Hh... Ngghh... Dit... Dit..” Cherry mendesah bertubi-tubi.
“Oohh... Ch... Cherryy....” desah Vany saat Cherry menghisap susu dari putingnya. Aku tak tahan.
“Nnnnnnngghhhh!!!”
Kuledakkan spermaku ke dalam rahim Cherry berkali-kali. Sekujur tubuhku seperti tersengat listrik rasanya. Penisku seperti tak mau berhenti mengeluarkan cairan. Kutarik lepas penisku dari vagina sahabatku saat masih mengeluarkan sperma. Beberapa muncrat menyemprot punggung Cherry, bahkan wajah Vany. Cherry merosot ke lantai. Rupanya Vany juga berhasil dibuat orgasme oleh Cherry yang terus memainkan dadanya. Adikku bersandar ke dinding, memejamkan mata, terengah-engah.
Sempoyongan, aku bersandar ke dinding. Cairan putih masih mengalir dari dalam vagina Cherry, meleleh keluar melumuri pahanya yang montok. Aku terengah-engah... Tapi penisku masih meminta lagi.
“Hh... Di... Di kamar aja, yuk?” kataku, tersengal.
“Kakak masih kuat??” tanya Vany, sedikit terkejut. Aku pun heran. Cherry menggeleng lemas, nyengir lebar.



Kami berjalan keluar dari kamar mandi, mengeringkan tubuh kami masing-masing dengan handuk, dan berjalan ke kamar. Vany dan Cherry merebahkanku terlentang di tengah-tengah ranjang, mereka berdua berlutut di sebelahku, Vany di kanan dan Cherry di kiriku, siap melanjutkan. Penisku sudah tegang sekali.

“Sekarang Kakak nurut aja yaa...” bisik Vany menggoda di telingaku.
“Kita yang bakal kerja keras...” kata Cherry.

Perlahan, dengan sangat sexy, mereka berdua membuka handuk yang membungkus tubuh hamil mereka, kemudian melemparkannya ke lantai. Entah apa, tapi tubuh (dan terutama perut) mereka terlihat mengkilat sore itu. Sangat mulus. Tak tahan, tangan kiriku meremas bongkahan pantat Cherry yang montok sekali, dan membelai perut Vany yang super besar dan mulus.

Kedua cewek ini mendekatkan wajah mereka ke penisku yang sudah tak sabar. Hatiku berdebar-debar, entah kenapa. Cherry mulai dengan mengulum kepala penisku. Vany menjilati batangnya perlahan. Sensasi diblow-job oleh 2 cewek tak pernah dapat kulukiskan.

“Mnhhh.. Vann... Cherrr.... Mngghh...”
“Slrrppp... sllrp.. Enak Kak?” tanya Vany. Aku hanya dapat mengangguk buru-buru.
“Mmmmm... Slrpp... Mm... Mah... Apa gue manggil lu ‘Kak’ juga aja ya, Dit?” kata Cherry sambil melepas kulumannya.
“Heh jangan aneh-aneh! Udah lanjutin!” ujarku sambil tertawa. Vany terbahak.
“Cherry... Gantian doonk...” pinta Vany. Cherry mengangguk, berpindah menjilati batangku, membiarkan Vany menyedot kepala penisku. Sedotan Vany selalu kuat.
Cherry mulai menciumi pinggangku, menyerahkan penisku sepenuhnya pada Vany yang telah memasukkan seluruh batang penis kakaknya ke dalam mulutnya. Lidahnya yang mungil bermain di bawah batang penisku, menyedotnya cepat. Kepalanya bergerak naik-turun-naik turun. Aku tak tahan.
“Vann... Kakak... mmmnnhh.... Kkhh...” kata-kataku tercekat.
“Eits... Jangan keluar dulu,” kata Vany, tiba-tiba melepas sedotannya. Benang ludah tipis menjuntai antara bibirnya dengan kepala penisku.
“Kita ada surprise buat lu...” kata Cherry.
“Astagah surprise apa lagi...” kataku, senang.
Cherry dan Vany menegakkan diri, berlutut berhadap-hadapan di kanan-kiri penisku. Perut mereka yang buncit menghadapi penisku, dan perlahan, Vany dan Cherry mendekatkan perut mereka, menjepit penisku dengan perut hamil mereka yang mulus dan kencang.
“Uwahh.. Vann... Cheerrr... Aahh... Ahh...” desahku tak karuan. Nikmat sekali.
Vany dan Cherry nyengir, mulai bergerak naik-turun menggosok penisku dengan perut mereka. Aku mendudukkan diri, kubelai perut keduanya; perut Vany yang sudah 8 bulan hamil lebih besar sedikit dari perut Cherry yang 5 bulan hamil anak kembar, tapi keduanya benar-benar mulus dan menggiurkan.
“I love you, Kak...” bisik Vany, memegang perutnya dengan kedua tangannya dan menggerakkannya lebih cepat menggosok penisku. Aku memejamkan mata, ini enak sekali.
“MMhh... Sini kamu, Vany...” ujar Cherry tiba-tiba, meremas dada adikku dan mengecup bibirnya. Vany terbelalak, tapi sesaat kemudian sudah menikmati ciuman Cherry, membelit lidahnya. Aku tak pernah tahan melihat pemandangan ini.



“MMMMMNNGGHHH.. nGGGHH... Gue... Kellluarr.... Nnhgggghh...”

Kuledakkan spermaku berkali-kali di antara perut buncit kedua cewek ini, menyemprot wajah, dada, dan tentunya perut keduanya. Aku tergeletak, terengah. Tubuh kami bertiga sudah berkeringat.

“... Gila itu... itu... tadi... Enak banget...” kataku. Kedua cewek itu tertawa. Mereka merebahkan diri di kanan-kiriku.
“Ayo, Sayang...” pinta Cherry sambil membelai penisku. Aku mengangguk, berlutut, berbalik menghadapi mereka berdua.

Aku memandangi kedua cewek cantik yang sedang bugil di atas ranjangku ini. Benar-benar luar biasa. Dua kecantikan yang berbeda, kulit dan wajah Vany yang sangat oriental, bersebelahan dengan Cherry yang tanned cenderung sawo matang dengan wajah bule-nya, keduanya sedang mengandung anak-anakku. Benar-benar luar biasa.
Kuarahkan penisku pertama-tama pada vagina Vany. Tembem dan hangat sekali sekarang. Vany memejamkan mata saat perlahan-lahan penisku menembus liang vaginanya. Cherry memain-mainkan dada Vany dengan satu tangan, sambil menjilati lehernya.

“Mmnhh... Ngghh... Nhhh...” desah Cherry. Aku mulai mempercepat tusukanku. Badan Vany yang terlentang bergerak seirama hujamanku. Semakin lama semakin kencang, semakin kuat.

“Oohh... Kakkk... Kakkkk... Nghh...” desahnya makin kuat.
Aku menggenjot adikku semakin kuat. Vany memejamkan mata, mulutnya menganga. Tangannya mencengkeram seprei kuat-kuat.
“Kakk.. Kaaaakkk.... Nnggghh!!!!!”
Vany squirting kuat-kuat, membasahi penis dan perutku. Aku mendudukkan diriku di sisinya. Mengerti, Vany naik ke atasku, membelakangiku, dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany menggelinjang, tangannya menopang perutnya yang buncit. Tanganku merogoh ke depan, meremas dada montok Vany yang berguncang-guncang menggiurkan, kumainkan putingnya.
Cherry beranjak turun dari ranjang, mencari sesuatu dari tasnya yang terletak di sebelah ranjangku, dan mengeluarkan sebuah dildo besar berwarna merah; bukan dildo biasa, tapi double-dildo (kedua ujungnya berbentuk kepala penis) dengan strap-on, sehingga bisa dipakai oleh cewek. Vany terbelalak menatap dildo besar itu.
“Gila.... Gede... Banget, Cher?” katanya sedikit tersengal karena penisku masih menghujam vaginanya.
“Hmmm... Kalo pas Kakakmu ga ada aku pake ini...” jawab Cherry cuek. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sahabatku ini cukup maniak rupanya.
Perlahan, Cherry menusukkan salah satu ujung dildo itu ke dalam vaginanya hingga masuk setengah, kemudian memakai strap-on nya. Muka Cherry merona merah. Sekarang sahabatku ini terlihat seperti memiliki penis besar berwarna merah, lebih besar dari penisku. Cherry naik ke ranjang, membelai perut Vany dan melumat bibirnya. Vany mulai was-was.
“Ch.. Cherr? Mau ngapain.... Nnnhh... nh...” tanyanya.
“Tenang aja...” bisik Cherry, menjilat tangannya dan membasahi kepala ‘penis’ merahnya. Aku mengerti apa yang ingin dilakukan Cherry, sehingga aku melepas penisku dari dalam vagina Vany dan menusukkannya ke dalam anus Vany. Vany menggelinjang, terbelalak.
“Aaah... Kakk... Ch... Aaah? Ch... OOOHHH! Cherrryy!!”
Cherry telah menusukkan dildo merah besar itu ke dalam vagina adikku dan mulai menghujam-hujamkannya. Perut buncit mereka saling bergesek. Muka Vany merah padam. Ia memejamkan mata, menikmati double penetration pertamanya.
“Aaaannghh.. Annnhhh.. Aaannhhh...” desah Vany kuat-kuat. Anusnya menyempit tiap kali Cherry menusukkan dildonya ke dalam vagina Vany.
“Nhhh.. Oohh.. V... Vann.. Ini enakk...” desah Cherry. Ia melumat bibir adikku, sementara aku menciumi leher serta terus meremas dadanya. Kedua lubangnya penuh, terus-menerus bergantian ditusuk oleh penisku di anusnya dan dildo Cherry di vaginanya.
“NNGHHH.. Nggghhhh.. NNggghhhhhh... Nggghhhh...” lenguh Vany tak karuan. Badannya bergetar. Tiba-tiba Cherry menjerit. Aku tahu Vany baru saja mengeluarkan jurus spesialnya, membuat dildo merah itu bergetar kuat sekali, sehingga dildo yang masuk ke dalam vagina Cherry pun bergetar.
“Ngghhhhhh!!!!! NNGHHH!!! OOOHH!!”
Vany menjerit dan squirting kuat sekali hingga dildonya terlepas. Sesaat kemudian ia kembali squirting kencang-kencang. Tubuhnya terkulai bersandar padaku, masih gemetar hebat sekali. Kubelai perutnya dan kukecup kepalanya untuk menenangkannya.
“La... gi...” desah Vany, meminta lagi.
“Heh... Kamu udah lemes gitu...” kata Cherry.
“Lagii... Sekali... Lagi....” desaknya. Rupanya ia ketagihan.
“Terakhir ya...” bisikku.

Tak menunggu lama, kutegakkan tubuh adikku, kumasukkan penisku ke dalam vaginanya dari belakang. Vany menggelinjang. Setelah penisku mantap berada di dalam vaginanya, Cherry perlahan menusukkan dildonya kedalam vaginanya juga dari depan. Vany terbelalak, mulutnya menganga.
“Aaaaa... Aaahhhhh... Annnhhh..... Aannnhh!!!” desahnya saat dua batang besar memenuhi vaginanya yang sempit.
Perlahan-lahan, bergantian, aku dan Cherry mulai menusukkan senjata kami ke dalam vagina Vany. Vany menggeletar. Aku pun memejamkan mata, ini enak dan sempit sekali.
Hujaman kami semakin cepat. Aku tahu Cherry juga mempercepat tusukannya. Muka Vany kembali merah padam. Desahannya semakin kuat.
“Ngghh! Aannghh... Arghhh... Annhh!! Mmhhh!! Mngghh!!!!” desahnya tak karuan.
“Diit... Dit.. Gue mau.. Ngghh.. Kuarrr...” ujar Cherry, memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya.
“Gue juga... Nnnhh.... V... Vannn?” kataku. Vany mengangguk liar.
“Hnnnghhh... Nhhgg!!” lenguh Vany tak karuan.
Hujamanku semakin kuat ke dalam vagina Vany. Tiba-tiba Vany mengeluarkan jurus spesialnya. Gelombang demi gelombang serangan memijat penisku dari dalam vaginanya. Aku tak tahan. Aku tahu Cherry juga sudah mencapai orgasmenya.
“Oooohh... Vvvvv... Vaaaaannn!!!”
Bertubi-tubi aku mengeluarkan spermaku ke dalam rahim Vany. Cherry dan Vany juga squirting bersamaan. Cherry merebahkan diri ke ranjang, terengah-engah. Aku masih meledakkan spermaku ke dalam Vany. Linu sekali rasanya sekarang penisku, sejak tadi dipaksa terus menerus mengeluarkan sperma.
Kucabut penisku dari tubuh adikku. Vany terengah-engah, matanya menatap kosong langit-langit ruangan, sepertinya sudah hilang kesadaran. Penisku masih tegak berdiri, masih meminta lagi.
Aku berbaring miring di belakang tubuh sahabatku. Kubuka strap-on nya, tapi kubiarkan dildo merah itu menancap di vaginanya. Kutampar pantat Cherry , kemudian kutusukkan penisku ke dalam anus Cherry. Bongkahan pantatnya yang montok membungkus, menjepit penisku erat-erat.
“Lu... Gi... la.... Aaahhh.. Annhh...” desahnya. Aku tersenyum.
“Habis ini gue pingsan kali,” kataku. Kupercepat hujamanku ke dalam anusnya. Cherry mendesah, menggelinjang, tangannya mengelus-elus perutnya yang buncit. Tangan kiriku merogoh dari bawah tubuhnya, ikut membelai perutnya. Tangan kananku memainkan dildo merah itu, menusuk-nusukkannya ke dalam vaginanya.
“Nnnnggghhh... Hunn... nny... Nngghhhh!” katanya.
“Ch... Cherrr... Cherrr gue mau keluarr.... Cherrr...” kataku semakin cepat, hujamanku semakin kencang. Kepalaku berdenyut-denyut rasanya. Cherry mengangguk, mengetatkan jepitan anusnya. Tanganku menhujam-hujamkan dildo semakin cepat ke dalam vaginanya.
“Aaaa..... AAAHH... AANNHH!!” jerit Cherry.
“Chhhh... Cherrryyyy!!!!”

Aku tak tahu berapa kali aku menyemprotkan spermaku ke dalam anus Cherry, yang pasti saat kucabut penisku, cairan putih meleleh keluar dari antara pantatnya yang super montok.

Kami bertiga berbaring telentang di ranjang, menatap langit-langit. Aku memejamkan mata. Gila... Hari ini sepertinya penisku bekerja lebih keras dari yang sudah-sudah. Sudah lemas sekarang, sudah puas.
Aku menoleh ke kiri, menatap Vany, adik cewekku yang seksi, yang sedang menatap kakaknya. Senyum lemah mengembang di wajahnya yang imut.
“.... Love you...” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Love you too, Van...”

Aku menoleh ke kanan, menatap sahabatku Cherry, yang masih memejamkan mata rapat-rapat, menikmati sisa-sisa sensasinya. Kulitnya yang sawo matang tertimpa cahaya oranye matahari senja itu, terlihat mengkilat mirip emas.
“I love you, Dit...” ujarnya. Aku terbahak.
“I love the both of you...” kataku. Kupeluk keduanya. Kami terdiam, memejamkan mata, masih terengah.

Tiba-tiba kami mendengar bunyi seperti genderang perang yang ditabuh kencang sekali.

“Suara apaan, tuh?” tanya Vany, terbelalak. Cherry menggeleng.

Tiba-tiba terdengar lagi. Kali ini aku tertawa kencang-kencang.

“Itu suara perut kita! Laper!!” ujarku.
“Oooohhhh!! Yaelaaahh!!” ujar Vany. Cherry tertawa.
“Bener juga ya! Makanannya jangan-jangan udah dingin lagi kita tinggal ML gini!” ujar Cherry. Vany segera terduduk mendengar masakannya terancam bahaya.
“Oiya! Ayo cepet! Bangun!! Makan!!” tukasnya, segera berdiri dan memakai pakaian, meninggalkan ruangan. Aku terbahak-bahak melihat tingkah adikku.
“Yuk!” ajakku pada Cherry. Cherry mengangguk, nyengir lebar.

Malam itu dinner kami berjalan dengan luar biasa. Rasanya aku belum pernah makan malam sebahagia itu. Masakan Vany benar-benar sedap, dan kami bertiga makan dengan seru, ditingkahi canda satu sama lain. Seusai makan, kami pergi menonton bioskop bersama. Aku sadar beberapa orang menoleh dan menatap kami dengan tatapan heran karena selama berjalan aku menggandeng atau merangkul kedua gadis cantik yang sedang hamil ini di kanan dan kiriku, tapi aku benar-benar tak peduli; aku berjalan dengan adikku yang sexy dan sahabatku yang luar biasa cantik, dan keduanya mengandung anak-anakku. Hidup tak akan pernah sesempurna ini. Tentu saja kami mengakhiri malam itu dengan sekali lagi Threesome sepulang nonton, dan sepertinya jika seperti ini terus... Bisa-bisa kandungan Vany dan Cherry bisa bertambah satu janin lagi.... Oke itu tidak mungkin.

* * *

Semuanya berjalan lancar setelah itu. Ella lahir sebulan kemudian dengan sehat dan normal, tanpa cacat sedikit pun. Yang unik hanyalah kedua iris matanya yang terkena heterochromia iridium, sehingga membuat iris mata Ella berlainan warna; yang kanan berwarna biru, yang kiri berwarna hijau. Tapi selain itu tidak ada cacat sedikit pun. Vany pun sehat, dan setelah selesai semua perawatan, ia pun dapat kembali melanjutkan sekolahnya. Ella diurus oleh ibu dan ayahku.
Tiga bulan kemudian Cherry melahirkan sepasang anak kembar, 2-2nya perempuan. Aku memberi mereka nama Yuri dan Yuna. Cantik-cantik, mirip bule seperti ibunya. Keduanya diadopsi oleh sepupu Cherry. Aku dan Cherry resmi berpacaran setelah itu.
Kuliahku berjalan lancar. Aku kuliah sambil bekerja paruh-waktu sebagai fotografer di salah satu model agency dari Jepang. Cherry kuliah sambil mengajar dance di kampus dan di sebuah tempat kursus dance yang cukup terkemuka di Singapore. Setahun setelah semuanya, Cherry mengandung anakku untuk yang kedua kalinya, kali ini laki-laki, dan lahir pada bulan Oktober 2010. Aku menamainya Shinji. Sejak itu aku memutuskan untuk menikah dengan Cherry dan merawat anak ini. Setelah itu, Cherry kembali mengandung dan melahirkan dua orang anak perempuan lagi untukku, masing-masing berjarak setahun. Aku kembali menamai mereka berdua Yuri dan Yuna, seolah mendapat kembali anak-anak kembarku yang pertama yang diadopsi oleh sepupu Cherry.

Dan... Tentu saja. Aku masih tetap sering pulang ke Jakarta setiap ada kesempatan untuk menjenguk Vany dan Ella, juga mengundang mereka datang berkunjung ke Singapore (dengan seizin Cherry). Aku dan Vany masih sering ML, kadang-kadang threesome bersama Cherry. Vany bertumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik, sangat seksi. Dadanya tetap 34F, perutnya telah kembali langsing, lekuk tubuhnya semakin terbentuk, semakin banyak pria mengidam-idamkannya, tapi sayangnya... Vany tak pernah membuka hatinya untuk pria lain.

* * *

Kamis, 28 Juni 2012 - 9.00pm WIB
Jakarta, Indonesia

“.... And the prince and princess lived happily ever after. The end.”
Kututup buku cerita bergambar Snow White itu. Ella menatapku mengantuk dengan matanya yang unik, mulut mungilnya menyunggingkan senyum manis.
“Good night, Sayang...” kataku lembut sambil mengecup dahi anak perempuanku. Ella sudah berumur hampir 3 tahun.
“Good night, Papi...” bisik Ella. Memejamkan mata.
Kubenarkan selimutnya, dan dengan perlahan aku berjalan keluar kamar Ella, mematikan lampu. Sebelum keluar aku menoleh sekali lagi. Ella sudah tampak terlelap, memeluk boneka panda. Tersenyum, aku menutup pintu kamarnya perlahan.

Aku baru kembali ke Jakarta sore hari itu. Sudah dua bulan lebih aku tidak pulang. Kali ini aku kembali ke Jakarta untuk menghadiri wisuda dan prom night Vany, adikku. Tak terasa ia pun telah lulus SMA. Vany sudah diterima di Waseda University di Jepang, dan karena aku dan Cherry pun telah lulus kuliah, kami berencana untuk pindah ke Jepang bersama-sama; Aku, Cherry, Shinji, Yuri dan Yuna, juga Vany dan Ella. Aku akan bekerja di kantor pusat model agency-ku di Jepang sambil melanjutkan kuliah S2 di sana.

Aku masuk melalui pintu tembusan ke dalam kamarku, yang sekarang juga menjadi kamar Vany. Ayahku merenovasi rumah sedikit sejak kehadiran Ella, membuat kamar lama Vany menjadi kamar Ella dan kamarku menjadi kamar Vany. Ia pun mengizinkanku tidur sekamar dengan Vany bila aku kembali ke Jakarta.
Vany, 18 tahun sekarang, sedang memilah-milah baju untuk prom night esok malam. Beberapa gaun dan setelan bertebaran di atas ranjang kami, dan Vany yang mengenakan lingerie polos berwarna kuning muda agak transparant masih menatap lemari pakaian dengan tampang serius. Aku tersenyum geli, mendekatinya. Vany menoleh.
“Hai, Kak... Ella udah tidur?” tanyanya.
“Udah... Dia demen banget Snow White,” kataku, mengecup pipinya. Vany terkekeh.
“Iya... Tiap malem minta dibacainnya Snow White mulu...” jawabnya, kembali berkonsentrasi pada lemari pakaian.
“Haha... Pantes kulitnya putih banget kayak Snow White,” candaku sambil duduk di ranjang. Kulit Ella memang sangat putih mulus seperti susu, cenderung kemerahan.
“Kak, bagus ini atau ini?” Vany menunjukkan dua potong gaun: Satu sack dress berwarna ungu tua dengan motif kristal di bagian dada, satu lagi sheath dress polos berwarna hitam. Aku memperhatikan keduanya.
“Hmm... Kalo yang item ini apa nggak membuat kecemburuan sosial?” kataku. Vany terbahak.
“Hahahaha.. Iya sihh.. Toket segede ini...” katanya. “Tapi kalo ditutupin selendang gitu? Ato cardigan?”
“Acaranya di mana sih?” tanyaku.
“Kempinski Ballroom... Grand Indonesia itu loh,” jawab Vany, kembali memutar badan menghadap lemari.

Aku memperhatikan adikku dari belakang. Aku bisa melihat bongkahan pantatnya dari balik daster ini... Benar-benar seksi adik cewekku ini. Tapi semenjak tadi sore saat ia menjemputku di airport, aku seperti melihat sesuatu yang berbeda darinya. Apa ya?

“Ah! Ini aja deh!” Vany berbalik dan menunjukkan cocktail dress berwarna biru langit dengan motif batik berwarna sama di bagian kanan bawah. Vany mendekatkan dress itu ke badannya. Cocok sekali.
“Hmm... Ini bagus!” ujarku jujur. Vany nyengir senang, menggantung dress itu pada pintu lemari pakaiannya dengan riang.
“Kakak besok dance sama aku ya...” pintanya. Aku tertawa.
“Hahaha... Vaann... Kamu tuh udah minta 15 ribu kali, kali...” kataku melebih-lebihkan. Vany memang sudah sangat sering memintaku untuk berdance dengannya saat prom night. Vany tertawa.
“Iiihhh.. Mendramatisir!” ujarnya. Ia berjalan mendekatiku, mengalungkan tangannya di sekeliling leherku, mengecup bibirku.
“Aku sayang Kakak...” katanya lembut.
“I love you too, Van...” jawabku. Aku memandangi matanya yang sipit. Rupanya Vany menangkap sesuatu dari mataku.
“Kak... Ada apa?” tanyanya. Aku tersenyum.
“Kamuu... Agak lain. Jujur,” jawabku. Senyuman Vany semakin lebar.
“Ih, Kakak... Masa dari tadi belom nyadar juga,” katanya nakal. Aku semakin heran.
“Hmm? Nyadar apa?”

Vany menatapku, menggelengkan kepala pura-pura kesal. Perlahan, Vany melepas tali pundaknya lingerienya, dan membiarkan lingerie itu jatuh perlahan ke lantai, menampakkan tubuhnya yang sudah matang sekarang; dadanya yang bulat penuh dengan puting yang coklat muda sempurna... Dan... Perutnya...?

“Aku hamil, Kak... 2 bulan...” katanya. Muka Vany merona merah. Tangannya mengelus perutnya yang baru sedikit membuncit. “Baru tau 3 hari yang lalu, koq...”
“... Van... Kamu... Hamil lagi?” tanyaku terbata, terkejut. Rasa senang merayapi tubuhku. Tapi tak ada rasa takut kali ini. Vany mengangguk, nyengir lebar.
“Semoga yang ini cowok ya...” bisiknya, duduk di atas pangkuanku, mencium bibir kakaknya. Kupeluk erat adikku yang seksi ini, kuremas pantatnya. Pikiran dan perasaanku bercampur aduk; senang, kaget... Semuanya. Astagah... Padahal 2 bulan lalu kami hanya ML satu kali.
“Van...”
“Hmm...?”
“I... I love you, Vany...” aku terbata. Vany tersenyum manis, memelukku erat.
“I’m forever yours, Kak...”

ACYS 6: School Sex




Kubelokkan mobilku masuk ke halaman parkir gedung tua itu. Entah kenapa bibirku seolah memaksaku untuk tersenyum lebar. Tapi, sesaat kemudian aku tersadar… Terlalu banyak kenangan manis yang disimpan gedung ini.

“… Kangen ya sama sekolah ini.”

Aku mengangguk dan tersenyum pada Cherry yang duduk di sebelahku, seolah dia mengerti apa yang aku pikirkan. Aku yakin sahabatku ini juga memikirkan hal yang sama. Bagaimana pun kami menghabiskan 12 tahun masa SD hingga SMA di sekolah yang sama.
Cherry dan aku datang bersama ke bekas sekolah kami hari itu karena keperluan kami masing-masing; Cherry harus melatih anak-anak The Foxes (grup modern dance sekolahku) yang akan tampil di kejuaraan dance akhir tahun, sementara aku datang untuk menemani Vany, adikku, menonton sparring tim basket putri SMP.

“Lu latian sampe jam berapa?” tanyaku pada Cherry sambil keluar dari mobil.
“Jam… 4an gitu lah…” katanya sambil melirik arloji. “Kan latian mulai jam 2. Basket sampe jam berapa?”
“Mungkin sekitar jam 3… Gapapa ntar pulang bareng aja,” jawabku.
“Hah? Terus sejam…? OOHH!! DASAR LU!” ujar Cherry sambil tertawa dan memukul lenganku.
“Hahahaha… Udah lama tau ga di sekolah,” jawabku sambil nyengir.
“Ih... Mesum dasar. Belom pernah kan ya sama Vany di sekolah? Dulu sama gue terus kan lu… Hehehe,” kata Cherry.
“Hehehe makanya…”

Menonton sparring basket memang bukanlah satu-satunya tujuanku datang ke sekolah ini. Aku ingin ML dengan Vany di gedung sekolah ini! Aku ingin mengenalkan perasaan seru dan deg-degannya ML bukan di rumah pada adikku.

“Eh tapi lu jangan terlalu nafsu lah... Kasian dia lagi hamil gede gitu masih lu hajar juga...” kata Cherry perlahan saat kami berjalan masuk.
“Iyaa... Lagian dianya yang tambah nafsu tau,” kataku membela diri. Cherry nyengir.
“Iya sih katanya emang cewek hamil jadi tambah nafsu...”

Ya, Vany, adikku yang berusia 15 tahun, memang sedang hamil. Vany mengandung anakku, kakaknya sendiri, dan sekarang kandungannya sudah mencapai bulan kelima. Sejak bulan Juni yang lalu hubunganku dengannya memang bergeser jauh dari selayaknya hubungan kakak-adik; mulai dari saling menyentuh tubuh satu sama lain, hingga akhirnya kami ML berkali-kali sebelum aku pindah untuk kuliah di Singapore, dan akhirnya Vany hamil (baca episode 5).
Dan entah kenapa, menurutku Vany (yang pada dasarnya sudah sangat seksi untuk anak seusianya) menjadi jauh lebih seksi saat ia hamil. Perutnya yang buncit dan mulus selalu merangsangku, dan dadanya yang luar biasa montok dan besar (34DD sekarang) bisa mengeluarkan susu yang manis sekarang. Selain itu vaginanya menjadi lebih sempit dan hangat di bagian dalam, di samping pantatnya yang menjadi semakin montok dan padat. Sungguh luar biasa!

“Hus! Tuh kan udah ngebayangin... Dasarrrr!” bisik Cherry sambil mencolek bagian tengah celanaku yang sudah mulai menonjol. “Lu ngapain sama dia tadi pagi?”

Tadi pagi setelah aku puas meremas dan menyedot susu dari dadanya yang montok, akhirnya Vany men-titf*ckku dengan nikmat hingga aku meledakkan spermaku banyak-banyak di wajahnya. Untung ia tidak telambat sampai di sekolah.
“Duh... Susah dijelaskan dengan kata-kata, Cher...” jawabku. Cherry menggelengkan kepalanya sambil nyengir.

Aku dan Cherry berjalan memasuki gedung SMA sekolah kami. Saat itu jam pulang sekolah, sehingga situasi sangat ramai. Setelah menyapa beberapa adik kelas yang mengenal kami, Cherry bergegas ke arah tangga yang akan membawanya ke ruang latihan tari.

“Oke sampe ketemu ntar sore! Inget Dit jangan terlalu nafsu!” ujar Cherry mengatasi keributan suara anak-anak. Aku melotot memperingatkan, tapi sahabatku ini nyengir nakal, menjulurkan lidah, dan berjalan menjauh ke arah tangga. Aku menggelengkan kepala sambil memperhatikannya pergi... Eh? Sepertinya ada yang berbeda dari Cherry.

Menyadari aku masih terpaku menatapnya, sahabatku menoleh.
“Hus! Jangan melototin pantat gue terang-terangan gitu ah...” katanya perlahan sambil kembali berjalan mendekat. Aku tertawa.
“Haha... Nggak lah... Lu... Agak lain deh,” kataku jujur.
“Hm? Lain apanya?”
“Gatau... Lu tambah berat ya?” tanyaku. Cherry mengernyit.
“Eehh kurang ajar ya...!” jawabnya gengsi. Tapi kemudian ia tersenyum... Penuh arti.
“Koq senyum gitu?”
“Emang ga boleh? Eh udalah gue udah mau telat ini!” ujarnya sambil melirik arloji lagi. Aku nyengir dan meremas pantat sahabatku yang super montok.
“Yaya... Sampe ketemu ntar sore...”
“Eh nakal ya tangannya!” bisiknya sambil berbalik dan berlari menaiki tangga, memamerkan pantatnya yang bulat dan besar di balik celana trainingnya yang merah terang.
Aku tersenyum saat memandangnya pergi... Tapi sungguh, sepertinya ada yang lain dari Cherry. Hmm... Tak apalah.

Aku berjalan perlahan ke arah gedung olahraga sekolahku. Aku bisa mendengar suara decit sepatu para pemain dan sorakan penonton, juga suara debam bola basket yang didribble oleh para pemain. Pertandingan sudah dimulai rupanya. Gedung olahraga⎯saat sedang dilangsungkan pertandingan di dalamnya⎯ selalu terasa panas dan memberi ketegangan tersendiri saat dimasuki, begitu pula saat ini.

Masuk, aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari Vany... Tidak sulit. Selain karena perut buncitnya yang menyembul di balik kemeja putih seragam SMPnya, jumlah penontonnya sedikit, dan Vany ternyata duduk di dekat bangku cadangan tim sekolahku. Aku tersenyum. Tentu saja, Vany adalah kapten tim basket putri SMP sebelum ia hamil.

Raut muka adikku terlihat sangat serius memperhatikan pertandingan. Aku menoleh ke papan skor; quarter pertama, 12-10 untuk sekolahku. Ketat. Aku berjalan mendekat ke arah Vany. Vany begitu berkonsentrasi pada pertandingan hingga tidak menyadari saat aku duduk di sebelahnya. Aku melambai pada Tasya (panggilan dari Natasha), adik Grace mantan pacarku dan salah satu sahabat terbaik adikku, yang menyenggol lengan Vany dan mengangguk ke arahku sambil tersenyum. Vany tersadar dan menoleh.

“Eehh Kak... Aku ga nyadar Kakak dateng!” ujarnya riang sambil nyengir.
“Hahaha gapapa... Kamu serius banget ngeliatin anak-anak,” kataku.
“Iya... Musuhnya jadi jago nih,” jawabnya serius, kembali melihat ke lapangan. Saat itu seorang pemain sekolah lain memblok passing tim sekolahku dan menyetak angka 3 points. Vany merengut.
“Passingnya.. Aduh... JESSICA KONSEN!!!” Vany meneriaki seorang pemain sekolah kami yang tidak kukenal. Jessica mengacungkan jempol ke arah kaptennya, tampak gugup.
“Ini pertama kali dia main dari awal sih...” kata Tasya di sebelah Vany.
“Point Guard ya dia?” tanyaku pada Vany sambil mengamati Jessica, cewek mungil, kira-kira setinggi adikku, dengan rambut dikuncir ekor kuda. Adikku mengangguk. “Dia yang gantiin aku jadi point guard. Kelas satu.”
“Erika mana?” tanyaku lagi. Aku kenal Erika; point guard cadangan Vany, kelas 2.
“Keseleo kemaren pas latian,” jawab Tasya.
“... Padahal kalo pas latian keliatan gesit banget loh si Jessica ini,” kata Vany. Natasha mengangguk, membetulkan kacamatanya.
“Gesitnya sih sama kayak lu, Van, tapi sering ga konsen... Terus belon begitu berani maennya. Ya masih kelas satu sih... Ntar juga jadi jago,” katanya. Vany mengangguk setuju. Aku pun menyadari bahwa Jessica bergerak sangat gesit, hanya ⎯ tidak seperti Vany ⎯ operannya masih sering meleset dan mudah dibaca lawan.

Aku mengenal beberapa pemain basket tim putri SMP karena mereka adalah teman-teman adikku. Agnes sang Center bertubuh tinggi besar baru saja mencetak angka. Kedudukan sekarang 14-13. Aku nyengir menikmati pertandingan ini. Sudah lama aku tidak menonton pertandingan basket seperti ini. Kulirik Vany yang duduk tegang di sebelahku... Sepertinya ia sudah lupa bahwa ia sedang hamil 5 bulan.
“Van, santai dikit... Inget kamu lagi hamil ga boleh tegang-tegang,” kataku pelan padanya. Vany tersadar dan nyengir, mengelus lenganku dengan sayang dan mulai duduk bersandar ke tembok.
“Hehehe iya kalo udah seru nonton basket gini suka lupa,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Aku merasa penisku mulai tegang, entah kenapa.

Terdiam, menonton lagi. Aku memperhatikan adikku... Kemejanya terlihat sangat sempit menahan dua tonjolan montok dadanya, ditambah dengan perutnya yang buncit menggiurkan. Aku melihat pundaknya... Hm? Biru muda?
“Van, kamu pake BH biru muda ya...” bisikku perlahan. Vany memukul lenganku sambil tertawa.
“Koq liat sih? Emang keliatan dari balik baju?” bisiknya balik. Aku mengangguk, nyengir.
“Yang tadi pagi putih basah ya...”
“Kena susu sama sperma! Kakak sih!” desis Vany sambil mencubit lenganku. Aku tertawa.
“Kamu seksi, Van...”
“Hus! Kak...”
<div align="center">* * *</div>
“Tapi bagaimana pun emang hebat kan anak-anak...”
“Iya sih... Cuma maennya bikin deg-degan tipis- tipis gitu,”

Aku dan Vany sedang berjalan perlahan menyusuri koridor dari gedung olahraga menuju ke gedung utama sekolah kami. Pertandingan sudah berakhir, dimenangi oleh SMP ku dengan skor tipis 38-34. Vany agak bersungut-sungut dengan hasil ini, karena saat ia bermain dulu SMP kami pernah membantai mereka 60-8. Benar-benar tidak diberi kesempatan.

“Udalah, Vann... Jangan bete gitu donk,” ujarku menghiburnya.
“Hmm... Coba aku maen,” katanya. Tiba-tiba ia geli sendiri dengan perkataannya dan terkikik. “Ga mungkin ya... Hihihi...”
“Dasar...” kataku. Vany menggamit lenganku dan menyenderkan dirinya padaku dengan sayang. Kami berjalan dalam diam perlahan menyusuri koridor sekolah, menuju ke lantai empat, ke tempat Cherry latihan dance.
Sambil berjalan, Vany membelai-belai perutnya yang buncit; sungguh entah kenapa setiap kali aku melihatnya melakukan itu ada rangsangan sangat besar yang menyerangku. Sembunyi-sembunyi aku membetulkan penisku yang tegang di balik celana jeansku.

“Kita pulang sekarang?” tanya adikku setelah beberapa lama. Aku menggeleng.
“Nggak... Nunggu Cherry kelar latian MD,” jawabku. Vany melirik arlojinya.
“Jam?”
“Empat...”
“Loh ini baru jam 3 kurang... Kita ngapain sejam?” tanyanya, polos.

Ketika itu kami telah sampai di depan kelas kosong di ujung koridor lantai empat yang dulu sering aku pakai bersama Cherry sebagai tempat kami ML sepulang sekolah. Saat itu Vany sepertinya mengerti, menatapku yang nyengir sambil menatapnya dengan tatapan meminta. Vany menggelengkan kepala.

“Dasar mesumm...” bisiknya. Tapi ia menggandengku masuk ke kelas itu. Aku menutup pintu di belakangku perlahan. Kelas ini tak memiliki jendela ke arah dalam, hanya ke arah luar, itu pun agak tinggi di atas, karena ruang ini sebenarnya adalah bekas gudang yang diubah menjadi kelas. Dan karena terletak di ujung koridor dan agak jauh dari kelas-kelas yang lain, maka mendesah sekencang apa pun akan agak susah terdengar.

“Emang gapapa, Kak di sini? Kalo ketauan orang gimana?” tanyanya. Aku merangkul adikku.
“Gapapa... Aman koq. Kakak udah pake kelas ini sejak kelas 3 SMP,” jawabku. Vany terbahak dan memukul lenganku.
“Sama Cherry apa Grace?”
“Pernah dua-duanya,” jawabku tenang. Vany tertawa lagi.
“Lebih sering sama Cherry kan pasti...” bisiknya. Aku tertawa dan mengangguk.
“Cherry lebih heboh,” kataku bercanda.
“Tapi Tasya pernah bilang katanya dulu pas Kakak ML di rumahnya, heboh banget MLnya sama Grace,” kata Vany. Aku terkejut.
“Natasha juga suka intipin Kakak sama Grace??? Astagah kalian!” ujarku. Vany terbahak-bahak.
“Kita pengen tau lah, Kaaak...” jawabnya manja. “Ah si Tasya enak tuh udah bibirnya sama seksinya sama Grace, diajarin langsung lagi. Aku kan cuma belajar dari ngintip doank.”
“Kamu juga udah hebat koq tapi, Van...” kataku. Vany nyengir.
“Kakak yakin ini aman?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk, meyakinkannya.

Vany tersenyum, berjalan ke arah deretan meja yang ada di tengah ruangan, dan menyenderkan dirinya ke salah satu meja. Posenya seksi sekali; kedua tangannya bertumpu ke meja, tersenyum manis sekali padaku. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mendekatkan wajahku hingga berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Aku bisa merasakan nafasnya yang agak tegang.

“Kakak tuh... Nafsunya gede banget deh...” bisiknya. Ia membelai wajahku lembut. Kami berciuman, lembut tapi penuh nafsu. Lidah kami saling berbelit, berdecak memenuhi ruangan itu.

Perlahan, jemariku mulai merayap naik, meremas kedua dada adikku yang montok dan penuh susu, menggosok dan memainkannya dengan nikmat. Aku merasakan desahan mungil keluar dari mulut Vany, menikmati remasan dan rangsanganku pada dadanya.

“Mmh... Kak...” desahnya. Tangannya yang mungil merogoh selangkanganku, mengelus tonjolan keras di baliknya. “Gede banget...”
“Kamu itu yang gede banget...” bisikku, terus menciumi leher kurus adikku sambil meremas dadanya dengan lembut, beberapa kali mengelus perut buncitnya yang keras. Vany menggelinjang tiap kali aku menyentuh titik-titik tertentu yang merangsangnya; benar, adikku ini lebih mudah terangsang saat ia hamil. Apa semua wanita hamil memang seperti itu?

Aku menegakkan badanku sedikit. Vany telah terduduk di atas salah satu meja, sedikit terengah. Tangan kirinya menopang perutnya yang buncit. Saat itu aku melihat bercak basah pada kemeja putih adikku, tepat pada bagian puting susunya. Aku nyengir nakal.

“Van... Kamu baru digituin masa udah keluar susunya?” tanyaku menggodanya.
“Aaa... Kakak kan ngeremesnya heboh... Gimana ga keluar,” jawab Vany sedikit malu. Aku tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, BH biru muda yang dikenakannya telah basah oleh susu.
“Hmmmhhh... Vannnyy... Kamu seksi banget, sayang...” kataku. Kubenamkan wajahku pada belahan dadanya yang 34 DD itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke belakang punggungnya, membuka kancing dan melepas BH adikku.

Aku mundur dan terdiam sebentar. Tak pernah aku habis pikir bagaimana adikku bisa memiliki payudara sebagus dan sebesar ini; putih mulus tanpa cacat sedikit pun, montok dan sungguh bulat menantang. Putingnya coklat kemerahan pun telah sangat tegang. Sekali lagi, aku membenamkan wajahku dalam keempukannya.

“Aah... Kak... Jangan buru-buru donk...” desahnya perlahan. Kumainkan kedua putingnya perlahan-lahan dengan telunjukku, membuatnya semakin kegilaan. Air susu sesekali menyemprot dan mengalir dari putingnya. Kuremas dada adikku kencang-kencang sekali lagi hingga susunya benar-benar menyemprot keluar. Vany menggelinjang dan mendesah setiap kalinya.
“Van... Kamu makhluk paling seksi yang pernah kakak kenal,” bisikku. Vany tersenyum dan membelai rambutku, mengecup keningku. Ku sedot putingnya bergantian, meminum susunya dengan nikmat, sementara tanganku membelai perut hamilnya yang mulus. Penisku terasa berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari bekapan celana dalam yang sempit.

“Mmhh.. Nnhh.. Kaa... K... Jangan nafsu-nafsu minumnya... Ooh...” desah Vany. Lidahku memainkan kedua putingnya, memelintirnya dan menyedot setiap tetes yang keluar dari dalamnya. Rupanya Vany tidak tahan dibegitukan.
“Kakk... Kakk... Mmnnnhhh!!!!! Mmmhh!!!”

Sejumlah besar susu menyemprot ke dalam mulutku. Aku tahu Vany telah mencapai klimaksnya yang pertama. Tanganku bergerak pelahan mengelus perutnya dan merogoh ke selangkangannya... Benar saja; celana dalamnya telah basah kuyup.

“Ohh... K... Kakk...” desah adikku terbata. Aku mengecup bibirnya.
“Lanjut ya, sayang?” kataku. Vany mengangguk, tersenyum.

Ciumanku bergerak dari bibir ke rahang dan leher adikku, ke kedua dadanya yang super besar dan lembut, hingga ke atas perutnya yang buncit. Kubelai lembut perut adikku, mengecupnya sekali lagi dengan sayang.

“Mmh... Perut kamu gede tapi bagus banget, Van...” kataku. Vany tertawa.
“Kakak demen banget ya sama perutku? Padahal buncit gitu,” katanya imut.
“Seksi tau...” jawabku sungguh-sungguh. Vany nyengir.
“Sini, Kak... Gantian!” Vany turun dari meja dan perlahan berlutut di depanku.

Ia membuka kancing dan retsleting celana jeansku, membiarkannya jatuh ke lantai. Penisku yang tegang langsung menyembul keluar dari balik celana dalamku, mengacung tepat ke wajah adikku. Tanpa aba-aba, Vany langsung menyedotnya dengan bersemangat.
“Oohh Vann... Astagah.. Pelan-pelann...”
“Mm... Cp... Kakak dabi juga... Mmmhh.. Ga belan-belan... Mmmm... (Kakak tadi juga ga pelan-pelan)” jawabnya dengan mulut penuh. Kepalanya bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya bergerak liar menjelajah bagian bawah penisku. Enak sekali.
“Mmmnnhh... Aahh.. Vann... Vanny...” desahku.

Vany melepaskan penisku dari mulutnya, membiarkannya jatuh di atas dadanya yang luar biasa montok dan bulat. Ia mengangkat dadanya dengan kedua belah tangannya dan mulai menjepit penisku di antara keduanya. Adikku ini memang spesialis titf*ck. Belum pernah ada cewek lain yang seenak Vany melakukannya.
“Oohh.. Nnghh... Vann... Kamu emang paling enak...” erangku keenakan. Vany nyengir sambil terus menggerakkan dadanya naik-turun, meremas dan memijat penisku dalam keempukan dadanya. Rasanya aku memang tak dapat bertahan lama dibeginikan.
“Kalo diginiin gimana, Kak?” goda Vany.
Tangan kiri Vany menekankan perutnya yang buncit ke atas, sementara tangan kanannya memegang dadanya dan menjepitkannya lebih erat membungkus penisku. Ini luar biasa; sensasi lembut dan keras perut hamilnya dipadu dengan empuknya dada adikku yang luar biasa besar. Tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur, menggosokkan penisku semakin cepat. Aku tak tahan.
“Nggghhh!! V... Vaan... VannnnNN!!!”

<em>Crott... Crrroootttt.... Cccroottt...</em> Spermaku seolah tak mau berhenti meledak, melumuri wajah imut adikku dengan cairan kental putih, mengalir turun membasahi dada dan perutnya juga. Aku merosot bersandar pada meja di belakangku.
“Mmm... Kakak selalu ga tahan kalo digituin,” kata Vany seraya menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya. Ia kembali duduk di atas meja, dan dengan ekspresi polos Vany mengusap dan meratakan cairan kental yang melumuri perut dan dadanya yang montok itu, seolah spermaku sejenis krim; pemandangan yang membuat penisku tak menjadi lemas sedikit pun.

Aku berdiri perlahan, melumat bibir adikku dengan nafsu, mendorongnya hingga terlentang di atas meja. Vany tersenyum.

“Ayo, Kak... Langsung aja...” pintanya lembut. Aku tersenyum dan menurutinya.

Kubuka kancing rok SMP adikku, membukanya dan membiarkannya merosot ke lantai batu. Perlahan, aku menarik celana dalamnya yang basah kuyup dan melepasnya. Vany mengangkat kedua pahanya yang montok dan mengangkang lebar-lebar di depanku. Aku meletakkan penisku di bibir vaginanya yang tembem dan mulus dengan bulu yang sangat halus. Perlahan, kumasukkan kepala penisku yang merah padam ke dalamnya. Vany menggrunjal sedikit.

“Mmhh... Kakk...” desahnya, menggeliat merasakan batang penis kakaknya perlahan-lahan memasuki vaginanya yang sempit dan hangat hingga mentok.

Tanpa menunggu lagi, aku segera menghujam-hujamkan penisku ke dalam tubuh Vany. Adikku menggeliat, mendesah, mengerang keenakan setiap kali penisku bergerak masuk, semakin lama semakin cepat.
“Ohh... Nnhhh... Vann.. Vann... Vanny...” kataku berulang-ulang. Vaginanya yang becek dan lembut benar-benar nikmat membungkus penisku.
“Ahh.. Aaahh... Ahhh Kakk.. Nnggghh!!” Vany mengerang, satu tangan mencengkeram pundakku, yang lain mengelus perutnya yang buncit.

Kuremas dadanya kuat-kuat hingga susunya menyemprot, kumainkan puting kirinya yang sensitif dengan jemariku, membuat Vany memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya menahan rangsangan.
“Oohh.. Kakk.. Kak aku ga bosen bosen digituin.. Ahhh...” desahnya. Keringat membanjiri tubuh kami. Gerakan pinggulku semakin cepat menghujam vaginanya. Nafas kami memburu. Penisku berdenyut-denyut, menghantam-hantam mulut rahimnya yang sedang mengandung anakku.
“Aaahh.. NNhhh!! Ooh Kakk.. Kakak... Mmmnhh!! Aaahh...” Vany menggeletar, badannya semakin menegang. Ia mengapitkan kedua kakinya ke pinggangku. Vaginanya mengencang, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku tahu Vany sudah tak tahan.
“Van... Vann tunggu bentar Kakak juga.. Nnggghh juga udah mau keluarr...”
“Ga ku.. kuattt... Kaaaakk... KKkk... Aaaahhh...!!!”

Vany orgasme dan squirting berkali-kali kencang sekali hingga aku harus mencabut penisku dari vaginanya. Tubuh mungil adikku gemetar hebat sekali setelah itu, tapi aku benar-benar belum puas menikmatinya; padahal tadi sudah tinggal sedikit lagi aku mencapai klimaksku juga. Tanpa menunggu lama, aku segera memasukkan lagi penisku ke dalam vaginanya, dan kembali menggenjot adikku dengan nafsu.

“Aahh.. Hhh.. Kakk.. Kakkk nafs.. nafssuu banget de...hhhH!.. Aaahh pelan-pelan kakk..” desah Vany tak karuan. Tangannya mencengkeram tepi meja, susu menyemprot dari putingnya, dadanya yang super besar dan perutnya yang buncit berguncang-guncang seirama tusukan penisku.

“Mnnhh.. Vann.. Vanny kuarin jurus kamu donk... Nngghh...” pintaku.
Vany mengangguk, wajahnya menegang, berkonsentrasi, dan sebentar kemudian serangan itu datang! Penisku serasa seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan bertubi-tubi. Ini dia yang kutunggu.
“Oohh... Vaann.. Vannyy!!! VANNN!!!”

Aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya. Nikmatnya tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku memejamkan mata, menahan nafas, membiarkan spermaku terus keluar hingga bulir terakhirnya di dalam tubuh Vany.

Kucabut penisku, dan segera terlihat cairan putih kental yang mengalir perlahan dari dalam vagina adikku, melumuri anus dan menetes ke meja. Aku merosot, tersengal mengatur nafas, duduk bersandar pada meja di belakangku. Penisku ngilu rasanya, tapi seperti biasanya, belum menunjukkan tanda-tanda melemas setelah dua kali keluar. Tubuhku tak pernah puas menikmati Vany.

Saat itu Vany turun dari meja, menegakkan dirinya, dan berjongkok persis di depanku. Vaginanya yang basah kuyup, masih meneteskan spermaku, berada beberapa senti di atas kepala penisku.
“Lagi, Kak... Aku belom puas... Tanggung jawab...” perintah Vany sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku tersenyum, melumat bibir mungilnya lembut. Tanganku merogoh ke pantatnya yang montok, membimbingnya turun.

Vaginanya membungkus penisku erat saat Vany menurunkan pinggulnya perlahan. Hangat dan lembut sekali rasanya. Vany mulai bergerak naik-turun perlahan; perutnya yang buncit dan mulus menggesek perutku setiap kalinya.
“Nnhh.. Mmhh... Vannn.. Enak banget.. Mmhh...” desahku.

Vany menikmati sekali posisi ini. Ia memejamkan mata, menggigit bibirnya. Tanganku bergerak, meremas-remas pantatnya yang montok dan padat sambil membantunya bergerak naik-turun. Dada Vany yang besar menekan dadaku, membuat susunya mengalir keluar dan membasahiku. Kucium, kujilat leher adikku dengan nafsu.

“Aaahh.. Kakkk... Kenapa posisi ini enak.. Bangett sihh... Nnhhhh” desahnya. Ia mencium pundak dan leherku, tangannya mencengkeram erat punggung kakaknya.

Aku mempercepat genjotanku ke dalam vaginanya. Vany mengerang, menekankan kepalanya ke pundakku.
“Kakk... Kakak... Nnnnnhhh...”
“Mau keluar, Yang??”
Vany mengangguk liar, memelukku semakin erat. Aku dapat merasakan vaginanya menyempit, menjepit penisku kencang-kencang. Aku menusukkan penisku lebih cepat dan kuat. Vany menggelengkan kepalanya.
“Mmmmmmmmnn... Nnnnn... NNNHHaaaaaHH!!!”
Dengan lenguhan panjang Vany orgasme untuk ketiga kalinya siang ini. Aku dapat merasakan cairan vaginanya yang dingin meledak keluar, menyiram penis dan pahaku. Susunya pun menyemprot banyak membasahi dadaku.

Kucabut penisku dari vaginanya dan mengarahkannya ke dalam anus adikku. Vany menjerit kecil ketika penisku menerobos anusnya yang luar biasa sempit dan mulai menghujam dengan kuat ke dalamnya. Ini enak sekali. Aku merosot hingga tiduran di lantai, sementara Vany terduduk di atasku, bergerak sesuai irama genjotanku. Dadanya berguncang-guncang menggiurkan.

“Aaahh... Ahh Kakk.. Nnhhh... Kakk... Mmhh..” desah Vany sambil mengelus perutnya. Tangan kirinya meremas dan memainkan dadanya sendiri, menyemprot-nyemprotkan susu keluar. Kucengkeram pantat Vany. Anusnya sangat ketat menjepit penisku, membuatku tak bertahan lama.

“Van.. Ohh.. Hhh.. Hhh... Vannn Kakak mau keluarr...”
“Kak... Kakk... Kakk.. Nnhh Nnhhh... Akuu jugga... MMmmhhhHH...”
“Nngghh.. Vann.. Vannyy... Vannyyy!!! VANNNY!!”

Aku mengerang, tapi Vany ternyata telah mencapai puncaknya terlebih dahulu. Ia menjerit kencang dan squirting kuat-kuat membasahi pinggang dan pahaku, anusnya menyempit lagi. Sedetik kemudian aku orgasme, meledakkan spermaku banyak-banyak ke dalam anus adikku.

Vany roboh ke atasku, terengah, tersengal. Tubuh kami bersimbah keringat. Penisku yang telah lemas kucabut dari anusnya, membuat spermaku meleleh keluar dari dalamnya. Vany berguling turun dan duduk bersandar ke meja di sebelahku, matanya terpejam; dadanya bergerak naik-turun, berusaha mengatur nafas.

“Hh.. Thanks Van...” bisikku setelah beberapa lama.
Vany mengangguk lemah, lelah.
“Sama-sama...” katanya.

Kami terdiam. Aku mendudukkan diri, melirik arloji, jam 4.15... Harusnya Cherry sudah selesai. Aku menoleh ke adikku, perlahan aku meraba dadanya yang besar. Kudekatkan mulutku ke putingnya dan mulai menyedot susu yang manis dari dalamnya. Vany nyengir dan mendengus tertawa.

“Kak... Belum capek apa? Ntar aku jadi terangsang lagi loh...” katanya lembut. Ia membelai rambutku.
“Mmm... Cuma mau minum koq, Yang...” bisikku. Vany tersenyum. Tanganku mengelus perutnya, mulus sekali, enak sekali.

Saat itu tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka perlahan. Hatiku mencelos. Aku menatap Vany, melihat ketakutan dan keterkejutan yang sama di mata adikku. Kami membeku di tempat. Panik. Tak akan sempat kami memakai pakaian kami. Langkah kaki perlahan mendekat, semakin jelas.

“Astagah Diitt... Udah gue duga lu bakal di sini!!”

Aku hampir pingsan karena lega. Cherry, sahabatku, berkeringat dan terlihat lelah tapi senang, berdiri bertolak pinggang di hadapanku dan Vany.

“Duh Cher... Lu bikin gw jantungan,” ujarku lega. Vany telah tertawa terbahak-bahak di sebelahku.
“Lagian lu kacau sih... Hai, Van!” kata Cherry geli. Ia melambai ke arah Vany, yang segera berdiri dan memeluk Cherry erat.
“Apa kabar, Cher??” ujar Vany riang.
“Baik banget... Wah kamu udah gede banget!” kata Cherry sambil menatap perut adikku. Vany tertawa.
“Iya donk udah 5 bulan... Salahin dia nih!” ujarnya sambil menunjukku. Cherry tertawa, membelai perut buncit Vany dengan lembut. Heran, koq bisa ga canggung sama sekali sih?
“Yang ini juga gede banget, Van... Bagi-bagi donk!” ujar Cherry sambil meremas dada Vany yang memang super besar.
“Eehh!! Cherry!!” seru Vany sambil tertawa dan menghindar.
“Heh.. Udah-udah ayo pulang,” kataku sambil memakai celana dan kaosku lagi. Vany mengambil sehelai kaos dan celana pendek dari tasnya dan mengenakannya perlahan.

Kami bertiga berjalan ke arah tempat parkir. Tiba-tiba Vany nyeletuk.
“Cher, kamu... Agak beda deh,”
“Hm? Beda gimana?”
“Ya kan Cher! Emang gw ngerasa agak ada yang lain dari lu...” ujarku setuju. Vany mengangguk. Rupanya Vany juga melihat ada sesuatu yang aneh dari Cherry.
Anehnya, sekali lagi Cherry hanya tersenyum simpul penuh arti.

* * *

Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Terminal 2 Keberangkatan
Sabtu, 3 Januari 2009 – 15.00 WIB.

“Sampe ketemu, Ma...”
“Ya... Ati-ati ya... Jaga adikmu baik-baik. Bulan depan Mami-Papi kesana.”

Ayah-Ibuku memeluk dan mencium kedua anaknya. Hari ini aku, Vany, dan Cherry akan berangkat ke Singapore. Vany akan tinggal di sana bersamaku hingga setelah melahirkan. Kami melambai dari balik pintu kaca yang memisahkan kami dari Ayah dan Ibu, dan mulai berjalan perlahan menuju ruang tunggu.

“Hmmm... Tinggal di luar negri sendirian enak ga, Kak?” tanya Vany, mengenakan baju terusan warna pink muda ditutupi jaket Adidas putih. Ia berjalan sambil membelai perutnya yang semakin besar, memasuki bulan keenam sekarang (Aku berusaha mengalihkan pandanganku. Celanaku terasa menyempit). Kami sudah tahu bahwa anak yang di dalam kandungan Vany berjenis kelamin perempuan, dan entah kenapa Vany sangat ingin menamainya Ella.
“Ya ada enaknya ada enggaknya... Tapi kamu kan ga sendirian,” kataku. “Ada Kakak...”
“Ada aku juga...” ujar Cherry riang. Vany tertawa.
“Hahaha iya sih...”

Kami berjalan menuju ruang tunggu. Sambil berjalan, aku tak dapat melepaskan pandanganku dari sahabatku. Sungguh, ada yang lain darinya, tapi aku tak dapat menemukan apa. Jelas Cherry terlihat agak menggemuk setelah sebulan di Jakarta, tapi itu wajar karena aku pun menghabiskan sebulan ini untuk makan makanan yang enak-enak di kota kelahiranku. Apa ya? Apa pantatnya tambah montok? Aku jarang bertemu dengan sahabatku ini selama sebulan terakhir, karena kami masing-masing sibuk dengan urusan kami sendiri. Kami bahkan tidak ML sama sekali selama di Jakarta. Aku menatapnya makin tajam, menyelidiki.

“Heh, lu ngapain ngeliatin gue sampe kayak gitu?” hardik Cherry.
“Cher... Lu... Seriusan deh ada yang laen. Apa ya?”

Kali ini Cherry nyengir lebar, nyaris tertawa. Tapi heran sekali, Vany juga ikut nyengir!

“Ahh Cherr!! Van! Kalian apaan sih kasi tau donk ada apa!” pintaku tak sabar. Tak kuduga, Vany yang menjawab.
“Ella kan bakal punya adik, Kak...” ujarnya riang. Aku melonjak kaget.
“HAH?! Hah jangan bercanda kamu, Van!!” aku memelototi sahabatku. “Lu... Lu hamil??”
Cherry nyengir, mengangguk.
“Udah 3 bulan...” katanya sambil membuka retsleting hoodie tebalnya. Ternyata benar, memang perutnya terlihat buncit dari balik tank top kuningnya. “... Anak lu juga, Dit. Pasti.”
“Minggu lalu ke Tante Rina sama aku,” jelas Vany. “Tantenya sampe geleng-geleng waktu tau ini anak Kakak juga...”

Aku tak dapat berkata apa-apa. Bagaimana ini? Cherry juga hamil anakku?

“... 3 bulan, Cher?” tanyaku gelagapan. Cherry mengangguk, tersenyum manis seperti biasanya. Berarti... Berarti sekitar awal-awal aku tahu bahwa adikku juga hamil, sekitar akhir September. Wah ini kacau!

Tiba-tiba aku sadar akan suatu keanehan. Sekali lagi aku mengamati perut Cherry yang buncit.

“Cher, 3 bulan kata lu?”
“Ya. Napa mank?”
“Koq udah segede itu? Waktu Vany hamil 3 bulan gue liat dari webcam belum begitu keliatan bedanya,” tuntutku.

Cherry nyengir, Vany tertawa terbahak-bahak. Astagah ada apa?

“... Kan kembar, Dit...”
“KEMBAR??!!”